"Yun, tugas matematika kamu udah belum?" tanyaku saat sudah sampai di kelas.
"Udah selesai dong hehe," cengir Yuna. Aku mendekati Yuna.
"Aku liat nomor 8 sama 15 dong, susah banget gila. Aku gak paham rumusnya," ujarku sambil mengambil buku tulis matematika dalam tas.
"Nih." Yuna menggeser buku tulis matematikanya padaku. Aku mengambil buku itu dan melihat jawaban yang aku tanyakan.
"Wah, ternyata ini toh rumusnya. Semalem pusing nyari tau rumusnya sampai ketiduran," curhatku. Semalam, aku memang kesulitan mencari tau rumus jawaban hingga aku tak kuasa menahan kantuk.
"Makanya jangan kebanyakan mikirin Devian mulu."
"Ih, apaan sih. Siapa juga yang mikirin Devian mulu. Aku emang susah cari rumusnya," sahutku.
Yuna hanya tertawa mengejek melihatku kesal. Saat sedang mencatat, tiba-tiba seseorang menghampiri mejaku lalu duduk tepat dihadapanku. Lelaki bertubuh tinggi dengan wajah tengil itu yang akhir-akhir ini muncul.
"Haii Devika. Kok cemberut sih, gak seru tau," celoteh Refan. Aku melihatnya sebentar lagi kembali fokus pada buku tugasku sebelum bel masuk. Refan tampak kecewa karena sikapku yang cuek. Aku hanya tak ingin memberi harapan yang memungkinkan munculnya perasaan yang lebih. Aku juga tak mau menjadi sorotan teman-teman sekelasku karena Refan yang mendekatiku. Aku tak mau menggiring opini dari mereka.
"Selamat pagi anak-anak. Silakan kumpulkan buku tugas matematika sekarang!" titah Pak Darma, guru matematika. Aku segera mengumpulkan tugas bersama teman-teman yang lain. Aku melihat Devian yang juga akan mengumpulkan tugas. Laki-laki itu terlihat sedikit pucat. Apakah dia sedang sakit? Sungguh, aku mengkhawatirkan dirinya.
***
Aku masih memperhatikan laki-laki itu dari kejauhan. Devian tak ikut pergi ke kantin bersama dengan rekannya saat waktunya istirahat. Ia memilih berdiam diri di kelas sambil meletakkan kepalanya diatas meja. Sepertinya, dia sedang tak baik-baik saja. Aku berinisiatif untuk mendekatinya untuk menanyakan keadaannya.
"Vian, kamu sakit ya?" tanyaku pada laki-laki itu setelah aku duduk disampingnya. Ia tersentak dari posisinya dan menatapku kaget.
"Eh, iya Vik. Aku kurang enak badan nih," sahutnya pelan. Aku merasa kasihan padanya.
"Mending, kamu ke UKS aja biar nanti bisa istirahat disana. Mau aku anter?" tawarku. Aku melihat lelaki itu diam tanpa respon.
"Enggak deh Vik, aku gak mau ketinggalan pelajaran lagian, gak terlalu parah kok," tuturnya.
"Soal pelajaran, nanti aku pinjemin buku catatan aku kok Vian. Kamu gak usah khawatir. Mau ya aku anterin ke UKS," ucapku sekali lagi. Devian tak bereaksi. Ia masih enggan merespon ucapanku.
"Serius Vik, gak usah. Aku baik-baik aja kok ya. Tenang aja oke," ucapnya menenangkanku.
Satu hal yang aku tau tentang Devian kalau dirinya tak ingin menyusahkan orang lain.
"Yaudah deh kalau gitu. Aku pergi dulu ya," pamitku pada Devian. Aku sebenarnya tak sungguhan pergi begitu saja. Aku ingin memberikannya teh hangat serta makanan di kantin untuk Devian. Aku hendak menyusul Yuna yang sudah lebih dulu ke kantin bersama Vera.
***
"Vian, ini ada teh hangat buat kamu," ujarku sambil menyerahkan bungkusan yang berisi teh hangat dan sebuah roti berukuran sedan.
Devian menegakkan badannya dan menatapku penuh tanya.
"Astaga Vik, kamu ngapain repot-repot beliin aku ini," celetuknya spontan. Aku tersenyum simpul.
"Gak papa Vian, aku inget kamu sakit jadi aku beliin ini biar perut kamu gak kosong." Devian meraih bungkusan dariku dan membukanya ia menghargai usahaku dengan menerima pemberian dariku meskipun, dirinya tak menginginkannya.
"Aduh makasih banyak ya Vik, kamu baik banget," ucapnya sambil membuka karet pengikat teh hangat kemudian memasukkan sedotan. Menyeruputnya sedikit karena masih sedikit panas. Devian kemudian membuka roti dariku kemudian memakannya.
"Ciee, kalian so sweet banget sih," ledek Jordy.
"Apaan sih Dy," responku. Jujur saja, aku saat ini sedang salah tingkah. Devian juga terlihat canggung. Sepertinya, laki-laki itu tak nyaman.
Aku segera pamit dari laki-laki itu dan pindah ke mejaku.
"Maaf ya Vian," ucapku yang diangguki oleh Devian.
Aku berpindah ke mejaku. Yuna belum kembali dari kantin.
Aku bersusah payah menetralkan degup jantungku. Sungguh, situasi yang sangat tak mengenakkan.
Tak berapa lama, Yuna datang bersama Vera. Gadis itu menatapku penuh tanya seolah sedang bertanya perihal usahaku tadi. Ya, Yuna tau kalau aku membelikan makanan dan minuman pada Devian.
Aku mengangguk sebagai respon. Yuna kemudian mengambil air mineral dari dalam tas kemudian meminumnya. Pikiranku masih bergelut dengan Devian. Apakah hubungan ini akan terus seperti ini? Lagi pula, apa yang diharapkan dengan hubungan dua anak SMP sepertiku. Usia remaja awal yang masih bau kencur. Hanya ada rasa yang tiba-tiba hinggap diwaktu yang salah.
Bermain dengan hati
Jangan pernah bermain dengan hati
Jika tak ingin merasakan kecewa
Cinta yang salah akan membuat petaka
Rasa yang salah sasaran akan membuat nestapaBukan salah kita
Bukan pula dengan hati yang cepat luluh
Semua ini adalah skenario
Kita adalah peran utama
Tugas kita hanya bersandiwa
Maka, nikmatilah alur kisah ini
Sampai kisah ini selesaiHayy, gimana kabarnya? Author balik lagi nih dengan Devian dan kawan-kawan. Terimakasih untuk yang sudah berkenan untuk baca.
Jangan lupa vote dan komennya ya
See you next part.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah untuk Devian ( Tamat & Sudah Cetak)
Teen FictionSeorang gadis penyuka puisi yang selalu menuliskan puisi tentang semua yang dia rasakan, terutama tentang seorang yang pernah singgah dihatinya. Devian Alvares laki-laki penyuka musik dan seni lukis. Sosok yang bersemayam dalam balutan diksi karya s...