"Dev, kamu bawa cat minyak gak?" tanya Yuna yang baru saja datang.
"Hm, aku bawanya cat air sih Yun," jawabku.
"Yaudah deh, nanti barengan ya aku kelupaan bawa nih," ucapnya tergesa-gesa.
"Tapi ini cat air lho Yun."
"Gak papa lah, punyaku di rumah juga cat air kok," ucapnya enteng.
Aku mengangguk dan mengeluarkan buku bahasa Indonesia.
"Eh guys, hari ini Bu Lena gak masuk lagi sakit katanya. Nih, tadi nitip tugas buat resensi novel. Jadi kita disuruh ke perpustakaan," seru Refan yang sedang berdiri di depan kelas sambil membaca kertas dari Bu Lena.
Jujur saja, aku senang karena merasa bebas jika belajar di perpustakaan. Aku membereskan alat tulisku untuk aku bawa.
"Eh tambahan. Tugasnya kelompok sebangku ya," terang Refan.
"Yuk Yun kita ke perpustakaan cari novel yang bagus buat resensi!" ajakku pada Yuna.
"Yuk."
Aku bersama teman-temanku menuju perpustakaan untuk mencari novel untuk tugas bahasa Indonesia.
Aku melihat Devian sekilas. Laki-laki itu sedang berjalan santai bersama gerombolannya. Seperti biasa aku terus saja memperhatikannya.
Saat sampai perpus, aku segera melihat rak buku novel yang berjajar rapi. Aku melihat cover novel yang terlihat bagus serta judulnya yang menarik.
Saat aku hendak meraih novel itu, tiba-tiba ada seseorang yang juga sedang meraih novel itu. Saat aku lihat, ternyata Devian. Aku sangat gugup setengah mati dan canggung. Mati kutu ditempat.
"Eh ini buat kamu aja," celetuk Devian kemudian. Aku sontak saja kaget dengan ucapannya.
"Enggak, kan kamu duluan Vian," sahutku.
"Udah buat kamu aja Dev, aku bisa yang lain," ucapnya. Aku tersenyum kaku.
"I-iyaudah Vian. Makasih," ucapku. Kemudian, aku melangkah pergi meninggalkan Devian dengan perasaan campur aduk.
"Gimana Dev? Dapet bukunya?" tanya Yuna.
"Nih." Aku menyerahkan novel itu.
Yuna membaca awalan novelnya. Aku tadi juga mengambil beberapa novel lain untuk aku baca.
"Ih cerita mengandung bawang deh. Bab awal udah sedih aja," komentar Yuna.
"Emang ada apa kok bisa sedih?" tanyaku pada Yuna.
"Ini, orang tuanya meninggal karena kecelakaan dan dia diasuh sama tantenya padahal dia masih kecil," tutur Yuna menceritakan sepotong kisah di novel itu.
"Yaudah Yun, pakai novel itu aja. Kamu baca dulu baru nanti aku gantian baca," ujarku sambil membalik lembaran novel ditanganku. Aku diam-diam mengamati Devian. Laki-laki itu sedang memilih novel yang akan di resensi. Aku memilih untuk melanjutkan membaca.
***
"Dev, yuk balik ke kelas!" ajak Yuna. Aku yang masih malas untuk balik ke kelas enggan untuk mengikuti ajakan Yuna.
"Bentar lagi istirahat Yun, aku males ke kelas, gerah," ujarku. Aku sebenarnya sedang mengamati Devian yang sedang duduk sendiri di meja baca. Ia sepertinya sedang menggambar sesuatu. Aku melihat dia seperti sedang membuat sketsa. Aku hendak mendekatinya karena ini momen yang pas untuk dekat lagi dengan Devian.
"Yaudah deh, aku balik duluan ya," pamit Yuna. Gadis itu melangkah pergi meninggalkanku di perpustakaan. Aku berjalan ke arah Devian.
"Wah bagus banget tuh Vian," celetukku saat melihat hasil karya Devian.
"Eh, Devika. Biasa aja ini mah. Belum bagus juga kok," tutur Devian.
"Gimana sih orang bagus banget gini Vian. Gambar kamu tuh bagus banget lho, kayak seniman profesional gitu. Kamu cocok deh jadi pelukis hebat suatu saat nanti," tuturku tulus.
"Aku masih belajar Dev, masih pemula. Harus banyak latihan ini sih," sahutnya.
"Ya bagus dong. Kalau bisa kembangin potensi kamu di bakat lukis," jawabku.
"Ya , aamiin makasih Devika. Oh ya, ini kamu mau nggak aku bikin objek buat sketsa aku?" tanya Devian berhati-hati. Bagai mendapatkan rejeki nomplok, aku sangat terkejut sekaligus senang bukan main.
"Hah? Seriusan?" tanyaku memastikan.
"Ya, serius. Mau nggak?" tanya Devian.
"Mau, boleh banget," ucapku semangat.
Devian kemudian mulai menggoreskan pensilnya pada kertas itu. Aku hanya diam sambil mengalihkan pandangan. Jujur rasanya gugup setengah mati. Aku gak pernah terbayangkan sebelumnya jika Devian mau menggambar wajahku.
Devian sesekali melihat ke arahku. Laki-laki mencari posisi yang pas untuk objek gambarnya.
"Akhirnya selesai juga," celetuk Devian seketika setelah beberapa menit berlalu. Aku mendekat ke arahnya kemudian melihat hasil karyanya.
"Wah, bagus banget Vian. Gambarnya real banget. Berasa asli, kamu beneran seniman sih ini," pujiku pada Devian.
"Ah kamu Vik, jangan berlebihan dulu. Ini baru pemula lho," sanggahnya.
"Pemula tapi lama-lama jadi jago kan?" bantahku.
"Ya semoga ya Vik. Oh ya, ini buat kamu deh. Buat kenang-kenangan hehe," ucap Devian sambil memberikan kertas sketsa itu padaku. Aku masih diam mencerna semua ini. Ini semua sangat tiba-tiba.
"Ini beneran kamu gambar buat aku?" tanya Devian.
"Yoi, buat kamu Devika," sahut Devian.
"Makasih banget ya Vian."
Aku mengambil kertas itu kemudian menyimpannya di dalam tumpukan buku bahasa Indonesia yang aku bawa tadi. Jujur, rasanya sangat membahagiakan. Aku tak menyangka bahwa Devian akan membuat sketsa untukku.
Gemerlap cinta
Malam datang menyapa
Gelap datang melambai
Aku masih terdiam, merenung dalam malam
Ku pandangi kertas itu
Karya spesial darimu untukkuApakah ini mimpi?
Aku tak ingin terbangun dari mimpi
Aku ingin selamanya bersama bayanganmu
Kekal abadi bersama karyamuHalo selamat malam readers. Alhamdulillah author lagi mood buat update cepet ni wkwk. Gimana part ini wkwk. Bahkan ada badai yg menerjang kisah mereka lho. Pokoknya ikuti aja ceritanya sampai tamat hehe. Btw, ini jangan bayangin kisah nyata ya, ini hanya fiksi untuk menghibur para pembaca setiaku🤗
Jangan lupa vote dan komennya biar cepet update lagi hehe.
See you next part 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah untuk Devian ( Tamat & Sudah Cetak)
Fiksi RemajaSeorang gadis penyuka puisi yang selalu menuliskan puisi tentang semua yang dia rasakan, terutama tentang seorang yang pernah singgah dihatinya. Devian Alvares laki-laki penyuka musik dan seni lukis. Sosok yang bersemayam dalam balutan diksi karya s...