[45] Bunga Kemandulan

625 38 0
                                    

Hueeeks...

Uhukk... uhukk

Hueeeks...

Rasanya mual sekali. Raya sampai terhuyung-huyung berpegangan pada tepian washtafel karena kedua lututnya turut goyah. Butuh beberapa saat sampai kekuatannya kembali dan dirinya memilih berkumur kilat lalu mengelap bibir dengan tisu.

"Aku nggak salah makan, tapi kenapa—hueeeks!"

Itu rasa mual yang cukup parah. Ini tidak bisa dibiarkan, terutama karena kehadiran Rafel disini sehingga dirinya tidak boleh membuang waktu dan justru terbaring sakit. Dirinya harus bisa memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk menarik perhatian Rafel juga meyakinkannya untuk lebih menerima perhatiannya.

Itu karena dirinya menyadari bahwa Rafel masih menjaga jarak juga seringkali tidak nyaman dengan keberadaannya disisi lelaki yang telah resmi menjadi suaminya tersebut. Rafel jelas menghindarinya meski tidak bersikap dingin atau menolaknya dengan tegas seperti sebelumnya.

Raya semakin merasa ini adalah kesempatannya. Terlebih lagi, Rafel masih lemah dan sakit-sakitan sekarang. Jadi dirinya merasa semakin dibutuhkan.

"Aku pasti bisa membuat kamu jatuh cinta padaku. Lihat saja nanti."

Ketika akhirnya mampu berdiri, tatapan Raya lekat pada pada vas disamping kotak tisu. Sebelumnya dirinya memang memerintahkan pelayan untuk membagi dua buket bunga mawar tersebut untuk mengganti bunga di kamar dan kamar mandi yang layu.

Senyum Raya melebar, "bunga ini hanya permulaan. Aku tahu... karena pada akhirnya kamu akan luluh. Kamu juga akan mengatakan kalau kamu menginginkanku. Mencintaiku."

Didekatkannya rangkaian bunga mawar dalam vas tersebut. Perlahan dan dengan begitu lembut dirinya membaui wangi yang menguar. Satu hari sudah berlalu tetapi karena Raya secara pribadi meminta agar vas di kamar dan kamar mandinya diperhatikan secara khusus, maka bunga mawar dari Rafel tersebut masih tampak sangat segar.

Satu tangkai Raya ambil dengan begitu hati-hati. Lalu, bagian kelopak yang masih separuh mekar tersebut diusap-usapkannya pada pipi, ujung hidung, lalu bagian kelopak yang masih menguarkan wangi tersebut disentuhkanya tepat di bibir.

Bunga mawar dari Rafel ini adalah yang paling dirinya sukai sekarang.

Praaangg!

Suara benda jatuh dan pecah cukup keras hingga terdengar sampai ke kamar mandi. Memang Raya sengaja tidak menutup pintunya dengan rapat sebelumnya karena takut Rafel terbangun atau membutuhkan sesuatu selagi dirinya tidak ada disampingnya.

"Rafel—astaga!" Langkah lebar Raya membawanya kearah ranjang. Disana ada Rafel yang tengah duduk mengatur napas dengan tangan kanan meremat dada.

"Aku... cuma mau ambil minum," suara Rafel terdengar parau.

Raya duduk dan merangkul bahu Rafel lembut. Raut khawatir terlihat jelas diwajahnya. "Kamu kalau butuh apa-apa bilang aku saja. Apa ada yang terluka?"

"T—tidak." Rafel terlihat meringis-ringis kesakitan.

"Kenapa?"

Bibir Rafel bergetar lalu terbuka. Dihembuskannya udara kuat-kuat dari dalam mulutnya. Cuping hidungnya pun ikut melebar seiring dengan tarikan napasnya yang berat. "Sehhh—saaak... aku sesak..."

"Sesak?!" Raya menatap cengekraman dada Raf dan tidak bisa untuk tidak panik. "Kalau begitu ayo berbaring dulu."

Dua kaki Rafel terangkat lemah. Sementara dirinya dibantu berbaring, Raya bersiap meraih gagang telepon ketika Rafel mengerang cukup keras untuk menghentikan.

Lika Liku Cinta RafelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang