[27] Jebakan Pernikahan

673 37 1
                                    

Lembut. Hangat.

Rafel tidak ingat kapan terakhir kali merasakan begitu nyaman ketika pertama membuka mata atau mendapatkan kesadarannya kembali. Mungkin ini adalah salah satu tanda bahwa kesehatannya mulai pulih.

Baru dirinya merasa demikian hanya sesaat sebelum tubuhnya tersentak kaku. Bukan masalah kenyamanannya melainkan seperti apa posisi berbaringnya saat ini. Dirinya-berbaring meringkuk dengan pelukan Kirana yang melingkupinya. Rafel bahkan tidak berani bergerak karena pipinya menempel langsung di dada Kirana.

"Jangan banyak bergerak, aku masih mengantuk."

Bola mata Rafel sudah hampir keluar mendengar nada santai tersebut. Bisa-bisanya?!

"Lep—ngh... lepasssh..." Rafel menggerakan tangan yang ternyata saling bertautan. Bukan hanya itu, ada rasa kaku dan kesemutan disana yang membuat Rafel sedikit meringis karenanya. "Aakhh..."

"Makanya jangan banyak bergerak." Kirana membuka sedikit matanya. "Ototnya masih kaku. Salah kamu sendiri keras kepala tadi sampai hampir kejang lagi. Mm... atau memang sudah." Ralat Kirana sebelum menguap. "Jangan bergerak dulu karena aku masih nyaman begini."

Tidak seperti biasanya Rafel menurut. Membiarkan Kirana membelit pinggangnya dengan sebelah kaki dan mengeratkan pelukan. Menjadikan Rafel sebagai guling hidupnya. Tangan Kirana bahkan santai sekali mengelus-ngelus sisi kepalanya.

"Kepalanya masih sakit?"

Pertanyaan yang membuat Rafel diam untuk merasakan tubuhnya sendiri. Masih sesekali berdenyut meski tidak sesakit sebelumnya. "Seh... sedihkit,"

Kirana mengendurkan belitan lengan untuk menatap wajah kuyu Rafel. "Kalau ini, masih sesak napasnya?" Tangan Kirana mengelus pipi sekaligus menyentuh masker oksigen yang masih merungkup wajah Rafel.

Semburan udara dingin dari masker oksigen tersebut memang membuat dada Rafel mejadi lebih nyaman, tetapi sepertinya dirinya juga sudah baik-baik saja meski alat bantu pernapasan tersebut dilepaskan. Karena itu, Rafel menggeleng.

"Good, then." Gumam Kirana sebelum menyematkan ciuman di kening Rafel.

Kernyitan diwajah Rafel seolah menunjukan kesadaran lelaki tessebut yang kini benar-benar telah utuh. Dorongan pelan Rafel berikan. "Janghan... keterlaluahaaan!"

"Stttt... ini uratnya bisa nggak sih disimpan dulu? Mau kamu kejang lagi kaya kemarin?" Kirana justru terkekeh dan menoel-noel pelipis Rafel. "Tensi kamu tuh masih tinggi, tahu..."

Meski sedikit kesulitan karena adanya collar di leher, Rafel tetap berusaha mengelak. Tidak membiarkan Kirana bebas menyentuh wajahnya. Kalau bukan karena rasa kebas dan kaku, sudah sejak tadi Rafel menggerakan kaki juga tangannya agar gadis kurang ajar dihadapannya ini segera menyingkir dari atas tubuhnya.

"Bu... bukan urusan kamu!"

Berbanding terbalik dengan Kirana yang justru kesenangan melihat reaksi Rafel. "Gemesin banget sih kalau lagi marah-marah begini. Pengen aku cium deh," desak Kirana sebelum menduselkan pipi. "Kita langsung minta dinikahkan sekarang aja gimana? Mumpung aku masih cuti ini. Sisa waktu liburanku bisa kita pakai main-main sambil eksplorasi konsep belajar morfologi manusia."

"Ghii—ghila!"

Kirana bergerak merayap dan kini bersidekap diatas dada Rafel. Menumpu bobotnya disana dengan tatapan nakal. "Siapa? Aku? Kamu loh yang lebih pantas dipanggil gila. Bisa-bisanya nolak aku, Chandra Kirana Rajasa. Memangnya aku kurang apa? Cantik? Jelas. Kaya? Apa masih perlu ditanya kekayaan keluarga Rajasa?"

Rafel kembali menahan kaku dan nyeri dengan memalingkan wajah. Menggerakan lehernya yang terhimpit collar. Raut wajahnya saja sudah begitu muram dan jelas sekali muak dengan permaianan kata-kata yang Kirana lakukan.

Lika Liku Cinta RafelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang