[47] Rencana Gugatan

563 37 3
                                    

"Kamu... sia—phaa?"

Senyum tipis Vio kembali terukir. Beruntunglah dirinya karena segala kekacauan ini sehingga saat ini dirinya diuntungkan karena menjadi memiliki waktu lebih lama bersama Rafel.

"Aku Viora. Dokter Viora."

"Vio—ra... ugh!" Tangan pucat Rafel menekan pelipis. Untuk sesaat serangan pusing membuat tubuhnya terhuyung.

"Nggak apa-apa. Pelan-pelan saja... jangan dipaksakan." Tangan Vio melingkupi punggung tangan Rafel dan mengelusnya lembut. "Apa sering pusing begini?"

Rafel mengangguk kecil. Membiarkan Vio berada lebih dekat dengan menyentuhnya. "Pusingnya selalu datang setiap bangun tidur. Aku..." Rafel memejam lagi dan kali ini lebih lama, "biasanya... ng—obat?"

"Obat?" Vio menemukan bahwa Rafel kini kebingungan. "Biasanya minum obat?"

Kening Rafel mengerut dalam. Satu kali anggukan lalu detik berikutnya dirinya mengeleng sebanyak dua kali. Salahkan saja ingatannya yang melemah dan saat ini isi kepalanya kembali kacau. Rafel bahkan tidak ingat bahwa Kirana yang selalu memberinya obat setiap kali serangan pusingnya datang.

"Aku... kepalaku sakit," keluhnya dengan pandangan yang lelah. Karena dalam keadaan seperti ini maka sulit sekali bagi Rafel untuk dipaksa terus mengingat.

"Kalau begitu, jangan diingat lagi."

Rafel mengangguk kecil lalu membiarkan saat pipinya dielusi lembut. Bibirnya merintih pelan saat gerakan jari Vio beralih memijat-mijat lembut pelipisnya. Rafel terlihat menikmati pijatannya sehingga Vio membiarkannya bersandar lebih nyaman pada tumpukan bantal dibelakang punggungnya.

"Ini... dimana?"

Gumaman pertanyaan tersebut hanya semakin membuat Vio menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan ingatan Rafel. Tubuhnya memang jauh lebih lemah dibandingkan saat bertemu dengannya di rumah sakit beberapa bulan lalu. Tapi kondisi kepalanya jelas merupakan sesuatu yang lain.

"Apa kamu pernah mengalami kecelakaan sebelumnya? Sesuatu benturan di kepala? Atau..."

"Tenggelem," balas Rafel lemah. Kelopaknya membuka dan menampilkan netranya yang menyorot lemah. "Aku pernah tenggelam."

"Apa itu melukai kepalamu?" Jemari Vio merambat dan menyusuri kepala Rafel untuk menemukan sesuatu. Sebuah jahitan besar atau mungkin bekas lula yang mengindikasikan cedera kepala.

Tapi Rafel menggeleng kecil. "Aku... nggak ingat. Aku hanya... tenggelam." Tatapannya kembali menyorot sekeliling, "tapi... dimana ini? Ini bukan rumahku."

"Memangnya dimana rumahmu?" Entah kenapa Vio merasa ingin memancing lebih jauh.

Kening Rafel lebih berkerut-kerut lagi. Pertama masalah obat, dirinya tidak ingat kapan dan siapa yang memberikannya obat. Lalu sekarang mengenai rumah. Kepala Rafel pusing lagi dan Vio menyadarinya dengan menggenggam tangan pasiennya tersebut lembut.

"Nggak perlu diingat lagi. Anggap saja kamu sedang beristirahat disini untuk pemulihan."

"Aku... nggak tahu. Tapi, sepertinya aku memang sakit." Rafel menyentuh dadanya menggunakan telapak tangannya. "Disini sedikit sesak."

Hal lain yang Vio amati dari kondisi fluktuatif Rafel adalah bahwa pasien istimewanya ini tidak bisa mendapatkan sedikit saja tekanan. Terbukti hanya dengan menceritakan beberapa hal sederhana, dadanya kembali sesak. Vio harus mempertimbangkan pemeriksaan rontgen dan MRI lengkap.

"Kalau begitu, coba berbaring lagi biar diperiksa." Vio membantu menarik bantal yang ada di punggung Rafel dan baru membantunya beringsut menumpu siku untuk berbaring. "Dibuka dulu bajunya,"

Lika Liku Cinta RafelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang