[51] Bulan Madu yang Terlambat

690 34 4
                                    

"Ke... kenapa harus diukur?"

Tidak terhitung seharian ini berapa kali Raya menjawab setiap pertanyaan penuh rasa penasaran dari Rafel. Suaminya ini persis kakek-kakek tua yang sangat pelupa. Baru saja ditanyakan beberapa menit lalu, maka hanya tidak berselang lama pasti akan menanyakan hal yang sama.

"Diukur nanti buat tahu ukuran kamu. Nanti dibuatkan jas yang bagus, terus aku pakai gaun cantik warna putih. Kita foto-foto yang banyak." Dan Raya sabar sekali menjawabi setiap pertanyaan yang Rafel ajukan.

Vio sudah menjelaskan bahwa sepertinya Rafel memang membutuhkan pemeriksaan lanjutan. Ingatannya memburuk dengan cepat dan sebelum itu mengindikasikan sesuatu yang buruk, sebaiknya memang harus segera ditangani.

"Foto... apa?"

Petugas butik yang sengaja dimintanya datang untuk mendapatkan ukuran Rafel selesai mengukur bagian bahu dan pinggang. Sementara Raya masih betah menikmati bagaimana mendekap pinggang Rafel dan mencuri ciuman di dada suaminya tersebut yang meski terbalut piyama tidur tetap saja meninggalkan jejak harum yang memabukan. Raya bahkan sengaja mencari tahu parfume yang biasa Rafel gunakan semasa sehat karena sangat menyukai wanginya.

"Foto pernikahan. Aku juga mau punya yang seperti itu sama kamu."

"Foto pernikahan," gumam Rafel mengulanginya seolah itu adalah hal yang penting. "Tapi... kenapa menikah? Aku... nggak mau menikah. Nggak mau seperti Papa."

Belakangan Raya juga menyadari bahwa kondisi Rafel saat ini membuatnya menjadi lebih jujur dalam mengungkapkan perasaannya. Seperti ketika dirinya membantunya mandi, Rafel mengatakan bahwa dirinya tidak nyaman. Atau ketika terlalu lama mencium, suaminya tersebut akan mengeluh sesak dan sulit bernapas. Sekarang pun sama, alasan kenapa selama ini Rafel sulit sekali didekati ternyata memang karena memiliki niatan untuk tidak menikah.

Hermawan Nasution memang terkenal memiliki banyak wanita disisinya. Termasuk ibu kandung Rafel yang hanya dinikahi secara siri dan kabarnya sudah lama meninggal karena sebuah penyakit. Informasinya cukup sulit digali dan Raya pun tidak lagi menganggap penting hal tersebut mengingat saat ini Rafel sudah bersamanya saja sudah cukup.

"Kamu bukan Papa kamu dan nggak akan pernah menjadi seperti Papa kamu." Dirangkumnya wajah Rafel yang sedih. Diciumi lembut sebelum kembali dituntun untuk duduk. "Percaya sama aku, oke?"

Nyatanya hanya dengan kata-kata semacam itu tidak langsung membuat Rafel tenang. Wajahnya masih terlihat gelisah. Raya memahami kalau mungkin Rafel memang menaruh trauma besar terhadap sikap Hermawan selama ini.

"Mau jalan-jalan keluar..." Rafel menatap sedih pada tirai kamar mereka yang tertutup.

"Besok ya? Sekarang sudah waktunya kamu tidur siang. Besok kan pagi-pagi kita ada flight jadi aku nggak mau kalau kamu sampai kelelahan."

Pelayan mendekat dengan nampan berisi air putih dalam mug dan juga tablet obat milik Rafel. Raya menyiapkannya dan membaca bagian petunjuk karena yang akan diminum Rafel adalah jenis obat baru dari resep Vio. Obat Rafel yang sebelumnya dibawakan dari Kirana menurut Vio mengandung beberapa bahan yang memicu kejang saraf dan otak. Dengan kata lain itulah yang selama ini melemahkan tubuh Rafel meskipun membantunya berpikir dengan lebih jernih.

Sedangkan obat yang diresepkan oleh Vio memiliki fungsi utama untuk mengembalikan kekuatan dan daya tahan tubuh Rafel secara fisik. Meskipun itu berarti proses pemulihan ingatan juga mentality Rafel yang akan menjadi lambat.

"Minum obatnya biar nggak lemas dan pusing-pusing lagi," Raya menyuapkan dua butir tablet bergantian dengan air putihnya.

Setelahnya meminta Rafel untuk berbaring dan menyelimutinya. Salah satu obat tersebut memang mengandung obat tidur sehingga membuat Rafel lebih mudah jatuh terlelap setiap kali selesai meminum obat rutinnya.

Lika Liku Cinta RafelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang