Part 2

81 4 5
                                    

"Aku suka dengan Abu"

Kalimat Yesa empat bulan lalu masih tergambar jelas di ingatanku. Saat itu ia tidur denganku di kamar. Kejadian unik yang membuat kamarnya bau bawang merah membuatnya harus mengungsi ke kamar lain. Malam itu, banyak sekali pria datang ke tempat tinggal kami. Membantu dua temanku yang kerasukan. Entah jenis apa yang mau masuk ke tubuh mereka.

Nurma dan Resty, dua perempuan yang tidak dalam kondisi baik malam itu. Awalnya hanya Nurma. Pria yang kucintai itu kemudian datang. Dia serius membantu. Kemudian, disusul oleh Resty. Aku lebih banyak membantu Resty. Namun, semakin tinggi malam, semakin sulit untuk aku bertahan membantunya. Aku kembali ke kamar Nurma. Kondisinya sudah sadar. Ia bercanda dengan pria itu. Aku melihatnya. Tangan mereka juga masih saling menggenggam. Sedikit takut menegur mereka. Hanya saja, setelah beberapa menit berlalu, aku semakin risih.

"Mau sampai kapan pegangan tangannya?" Refleks pertanyaan itu keluar dari mulutku. Pria itu melepaskan tangannya. Sungguh, aku tidak bermaksud mengeluarkan kalimat itu. Aku hanya memikirkannya. Untungnya, kepala suku datang mencairkan suasana. Ia ikut bercanda. Sementara di kamar lain sedang serius mengobati Resty.

Jam satu malam, semuanya baru bisa pulang. Saat itu aku dan Yesa bertukar cerita. Dengan penuh kesadaran aku mengatakan pada Yesa, aku suka Nico. Pertama kalinya aku bisa jujur dengan perasaanku sendiri. Pertama kalinya aku cerita pada seorang teman yang baru dua bulan saling kenal. Yesa baik. Aku tahu itu.

Kesan pertama ku dengannya adalah dia perempuan sombong. Perempuan yang apatis, yang hanya peduli dengan keberlangsungan hidupnya saja. Salahku karena berpikir setiap perempuan cantik seperti itu. Namun, semakin mengenal Yesa, aku semakin kagum dengannya. Aku banyak belajar darinya. Dia mengubah persepsiku bahwa perempuan seperti dia juga punya kepedulian yang tinggi. Aku sempat berpikir bahwa dia hanya mengenakan topeng untuk peduli dan menahan kekesalannya pada kami. Ternyata tidak sama sekali. Kekurangan dia hanyalah dia galak. Rasa pedulinya, tanggung jawabnya, dan lembut hatinya, seandainya mereka melihat itu, mungkin mereka juga akan terkesima. Hal yang paling membuatku kagum adalah aku menganggap ibunya berhasil mendidiknya. Dia punya sopan santun dengan seseorang yang lebih tua, Dia tegas dan berani pada pemikirannya, dan dia punya self-boundaries yang baik. Mungkin itu sebabnya aku percaya untuk memberitahu dirinya pria yang kusukai.

Yesa adalah tipe perempuan yang jarang sekali mengatakan dirinya baik. Dia mengakui bahwa dia galak. Dia ketat terhadap peraturan di hidupnya. Dan Perempuan itu menggunakan akal sehatnya dalam mencintai seseorang. Walau kadang dia goyah. Merasa sulit menyukai Abu, ia beralih pada Khai. Sebenarnya kenyataan Yesa suka Khai lebih masuk akal dibandingkan dia suka Abu. Dari awal kami mengobrol, aku lebih sering mendengar Yesa penasaran dengan seorang pria yang naik motor melewati tempat tinggal kami. Pertanyaannya baru terjawab ketika kami menonton pertandingan futsal yang ketiga kalinya.

Aku orang pertama yang menyaksikan obrolan pertama Yesa dan Khai. Di sana, obrolan sangat mengalir seolah Yesa sudah mempunyai banyak topik di kepalanya. Walaupun sebenarnya tidak. Yesa juga sempat membantuku bertanya kemana Nico pergi hari itu karena tidak terlihat menonton futsal. Jadi, sedikit banyak aku juga membantunya mengobrol. Setelah itu, hubungan Yesa dan Khai berkembang. Tidak seperti aku.

"Maaf." Tawa Steven, Hutri, Nanda dan Yati membuatku berhenti bercerita. Refleks Steven meminta maaf, merasa bersalah.

"Aku ingin bertanya, kenapa tiba-tiba Nico? Dari kapan kamu mulai menyadari ada rasa?" Tanya Steven, mencoba memperbaiki mood berceritaku.

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya dengan kasar. "Aku ingat ada momen dimana tiba-tiba saja aku ingin merasa diperhatikan olehnya." Jawabku kembali memulai cerita.

Pagi itu aku sebenarnya lelah. Aku sudah lupa malam harinya aku kemana sampai pagi itu rasanya melelahkan. Yesa sudah memberitahu kami jika kami mengadakan acara masak bersama. Masakan khas Sulawesi tepatnya. Putri diminta untuk ke pasar bersama Nurma. Hanya saja, pagi itu Nurma juga sama lelahnya. Aku yang tidak tega membiarkan Putri sendiri perempuan, akhirnya mengalah ikut menemani. Dengan catatan aku memang suka jalan kaki. Juga karena ada dia. Entahlah, saat itu aku hanya berpikir mungkin karena aku jarang bertemu dengannya. Wajar jika aku bersemangat. Nico dan Zul disusul dengan aku dan Putri pergi ke pasar dengan hanya berjalan kaki. Entah kenapa, aku juga sering sekali mencoba untuk berjalan bersebalahan dengan Nico. Dan hari itu, seharian penuh aku mencoba selalu berada di sebelahnya. Membantunya mengupas pisang, meminjamkannya piring tanpa tahu ada apa dengan perasaanku. Mungkin tanpa sadar, perasaanku ternyata berkembang.

"Baru setelah itu, kamu tahu kamu suka sama Nico?" Tanya Nanda memastikan.

Aku terdiam. Ternyata secepat itu aku mengakui rasa itu. Tanpa denial. Tanpa mengalihkan rasa. Aku yang sangat takut dengan rasa itu, justru menjadi sangat berani hari itu.

"Pertanyaan lagi, kenapa kamu takut punya perasaan? bahkan kamu takut jujur dengan perasaanmu sendiri?" Kali ini gantian Hutri yang bertanya. Nada terakhirnya menunjukkan bahwa dirinya heran. Aku tersenyum. Dulu, ketika Anna bertanya hal ini, aku masih belum sanggup menjawabnya. Namun, seiring berjalannya waktu, aku menceritakan sendiri alasan kenapa aku takut jatuh cinta.

Sepuluh tahun yang lalu, aku punya pengalaman buruk tentang anak laki-laki yang kusukai. Saat itu aku berada pada fase kepercayaan diri yang sangat rendah. Anak laki-laki itu menghina seorang anak perempuan di depan mataku. Dia memaki anak perempuan itu karena merasa tidak sudi disukai oleh anak perempuan itu. Setelah kejadian itu, aku juga menjadi seseorang yang dihindarinya. Mungkin dia tidak sadar bahwa dia tidak pernah menyebut namaku padahal dia tahu aku dan kami sekelas. Mungkin dia juga tidak sadar sudah berlaku kasar padaku. Namun, karena kepercayaan diriku yang rendah, aku menangis setiap malam. Sampai hari kelulusan, aku membencinya. Bahkan lebih dari itu, aku berjanji tidak akan menyukai siapa-siapa dulu. Aku sadar aku sensitif saat itu. Itu sebabnya, aku juga berusaha untuk tidak terbawa perasaan pada pria manapun. Entah itu kesal, marah, suka, senang, aku berusaha menampilkan wajah datar tanpa mengekspresikan rasaku.

Seiring berjalannya waktu, memaafkan mungkin lebih baik. Aku pernah menyesal karena terlalu takut jatuh cinta, Aku mengabaikan perasaanku pada pria yang sangat baik padaku. Dia pria yang mengajarkanku bahwa nyatanya masih ada laki-laki yang baik. Masih ada laki-laki yang mampu menghargai perempuan tanpa memandang fisik. Dia adalah pria baik yang berhasil mengobati lukaku. Tidak langsung sembuh. Faktanya, aku sempat denial saat mencoba menyukai Kak Rama. Mengakui perasaanku pada Rama adalah bentuk aku mencoba berani pada keadaan aku tertolak. Walaupun kenyataannya aku belum siap mendapatkan jawaban.

"Sederhananya, kamu takut dengan penolakan, kan? Kamu takut seseorang menolakmu dengan cara kasar?" Tanya Nanda memastikan. Aku mengangguk perlahan.

"Tetapi, ketika menyukai Nico, aku belajar untuk berani mengejarnya." Aku membela diri.

Sebenarnya, aku belajar itu dari Yesa. Menjadi perempuan yang percaya diri dan berani bertindak. Aku melihat sisi lembut Yesa. Aku melihat dia sering takut dengan perkataan orang. Dia sering takut dengan pikiran-pikiran orang. Namun, aku juga melihat dia mampu menghilangkan ketakutan itu. Dia berhasil mengontrol pikirannya. Dia mengetahui bahwa dia tidak bisa mengontrol pikiran orang lain, tetapi dia sangat mampu mengontrol pikirannya. Menghilangkan rasa takutnya dan memberikan kekuatan agar dirinya berani. Ketika itu, aku juga mencoba untuk berani. Walaupun aspek berani ini tentunya berbeda.

Jatuh Cinta SendirianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang