"Ajak jalan, gih!"
Saran itu kudapatkan dari Anna setelah aku mengeluh tidak ada kedekatan dengan Nico. Itu saran sederhana. Banyak pria dan wanita jalan tanpa melibatkan perasaan. Hal wajar. Namun, karena kali ini aku melibatkan perasaan, itu menjadi hal yang tidak sederhana lagi. "Kalau mau jalan, tinggal ajak." Jawab asal Virgy ketika aku bertanya caranya. Kebetulan ada film yang ingin kutonton saat itu. Aku mengirim pesan padanya. Ajakan sederhana. Namun, tidak berharap banyak. Aku pergi ke kamar sebelah untuk menghibur diri.
"Kak, Ayo nonton film horror!" Ajak Aya ketika aku masuk kamar Mita. Secara kebetulan, mereka juga sedang membahas film. Aku tahu mereka sering menonton. Tiket bioskop memang sangat murah di sana. Aku senang. Secara tiba-tiba aku juga menceritakan rencanaku.
"Jangan komedi! Kita nonton horror aja." Saran lain muncul dari Mita. Aku berpikir beberapa detik. Aku mungkin akan kaku jika hanya berdua Nico. Lagipula aku masih berani nonton genre horror, ketimbang romantis. Lagipula, aku juga belum tahu jawaban Nico. Aku menyetujui saran mereka. Yesa juga berencana akan ikut dengan Khai. Setelah cukup lama mengobrol, aku kembali ke kamar. Pesanku sudah dijawabnya. Pria itu bertanya menonton film apa dan dengan siapa. Aku menginformasikan detailnya. Juga mengatakan awalnya ingin menonton film komedi, bermaksud memberi pilihan. Nico tidak keberatan nonton film apapun. Aku yang merasa tidak nyaman dengan jawaban itu. Dia mungkin akan terkejut atau trauma jika hanya nonton film komedi berdua denganku. Jadi, kuputuskan menonton film horror. Beberapa menit kemudian, aku sadar, bahwa besok ada jadwal pribadi dengan kampus asal.
---
Malam itu aku tidak ingin terlalu memusingkan jadwal. Aku bisa izin tidak hadir. Namun, pagi harinya, Nico memberitahu bahwa dirinya akan rapat bersama teman-teman yang lain. Rapat itu memang penting. Semua orang mengadakan rapat malam itu. Kecuali untuk beberapa orang yang sudah mengadakan rapat lebih dulu. Akhirnya, kami menunda nonton film. Aku jadi bisa mengikuti jadwal pribadiku. Secara daring.
"Jadwal pribadi?" Tanya Nanda heran.
"Acara Sharing session sesama mahasiswa PMM di kampus asal." Jawabku singkat.
"Kamu tidak merasa bahwa Nico sebenarnya sedang menolak secara halus?" Nanda yang selalu berpikiran negatif pada pria akhirnya mengeluarkan pendapatnya. Aku mengangguk.
Aku sangat merasa Nico menghindar. Namun, selagi masih belum keluar kalimat penolakan darinya, aku mengontrol pikiran untuk berpikiran positif. Sampai tangis itu pecah esok harinya. Aku menangis karena tidak bisa bertarung dengan pikiranku sendiri. Merasa diabaikan. Merasa tidak dianggap penting. Merasa mungkin gagal mengajaknya. Mengajak Nico lebih sulit dibandingkan memberi makan kucing. Bukan karena Niconya. Hanya saja, aku yang tidak bisa mengontrol ketakutanku sehingga muncul kekhawatiran yang membuatku merasa buruk.
Aku ke kamar Mita setelah tangisku selesai. Mengatakan kemungkinan terburuk. Mita dengan santai menjawab Nico memang slowrespon terkadang. Pria itu memang tidak bisa ditebak kapan merespon dengan cepat atau lambat. Mita menenangkan dengan mengatakan untuk menunggu. Seharian itu aku uring-uringan menunggu balasan Nico. Mungkin benar menurut Mita, karena setelah pesanku dibalasnya, kami mengobrol dengan nyaman.
Mita memang salah satu perempuan baik di kos. Dia perempuan yang sopan. Semenjak dia tahu aku suka Nico, dia selalu mencoba mendukung. Dia juga yang sering kutanyai tentang Nico karena banyak mata kuliah yang satu kelas dengan laki-laki itu. Mita perempuan yang asik. Namun, dia menjadi sangat pendiam jika bukan dengan orang-orang terdekatnya. Leluconnya selalu bisa membuatku tertawa, sereceh apapun itu. Jika ditanya apa yang kuharapkan darinya, mungkin aku ingin dia berhenti memanggilku 'Kakak'. Aku pernah mengatakan pada Mita ataupun Putri untuk tidak memanggilku Kakak karena kami satu angkatan. Namun, karena sudah terbiasa, mereka merasa aneh jika tidak menyebutku 'Kakak' dan mungkin juga karena aku dekat dengan Yesa. Pada akhirnya, aku mementingkan kenyamanan mereka.
---
Malam harinya kami berangkat. Nico pria sendiri. Khai ada kegiatan lain sehingga membatalkan agenda. Yesa juga jadinya tidak ikut. Sebenarnya Mita sudah memintaku untuk meminta Nico mengajak temannya. Aku menyampaikan itu. Namun, Nico mengatakan biar aku saja yang mengajaknya, berhubung aku yang punya ide. Kalimatnya tidak persis seperti itu. Aku baru paham kalimat itu hari ini. Setelah berlalu.
"Hah? Memangnya apa yang dia katakan?" Tanya Nanda. Sepertinya dia heran manusia pintar sepertiku bisa gagal paham.
"Dia bilangnya. 'Kalau dia diajak dia tidak bisa mengajak orang lain." Jawabku seingatnya. Pemahamanku saat itu hanya sampai dia tidak masalah sendirian. Jadi, aku tidak mengajak yang lain. Energiku juga habis untuk mengajak teman-temannya.
Aku sedikit menyesal tidak memiliki energi lebih untuk mengajak teman-temannya. Selama di mobil, aku khawatir dirinya tidak nyaman. Untungnya, dia bisa beradaptasi dengan baik di antara kami. Dia mampu berbaur pada teman-teman introvertku. Aku sangat menghargainya. Shasa, Aya, Mita, Lia, aku dan Nico sangat lancar mengobrol sampai tidak terasa sudah tiba di bioskop. Dari turun mobil sampai di depan bioskop aku benar-benar gugup. Kegugupanku bertambah ketika menerima tiket dari Mita. Aku tidak tahu bahwa mereka merencanakan untuk membiarkan aku dan Nico duduk bersebelahan sementara mereka jauh terpisah dengan kami. Entah mereka sudah briefing denganku sebelumnya, tetapi terlupakan karena tangisan pagi itu atau mereka memang tidak mengatakan apapun, yang jelas aku tidak bisa protes di depan Nico saat itu. Di satu sisi aku senang, tetapi di sisi lain aku juga takut Nico risih. Sambil menunggu, aku lebih banyak diam daripada biasanya. Shasa memimpin topik dengan membahas drama korea. Aku pecinta drama korea sejak tahun pertama sekolah menengah. Namun, karena gugup memikirkan apa yang harus dilakukan di dalam nanti, aku sama sekali tidak bercerita. Hanya menanggapi sesekali.
Sebelum masuk bioskop, Nico sempat ke toilet. Sementara yang lain masuk, aku sempat bingung harus ikut masuk atau menunggunya. Kuputuskan untuk menunggu setelah sadar tiket Nico masih denganku. Jangan tanya seberapa gugupnya aku ketika di dalam. Ini sama saja seperti kencan dengan pengawasan orang terdekat. Untungnya, suaraku tidak sampai bergetar untuk sembarang mengambil topik pembicaraan sebelum film dimulai. Nico bercerita tentang perempuan yang duduk bersamanya ketika nonton bioskop beberapa minggu sebelumnya. Perempuan itu suka horror katanya. Namun, takut. Tangan Nico menjadi korban cakaran tangan perempuan itu. Aku memang tahu dia dan teman-temannya menonton bioskop. Hal yang tidak kuketahui adalah Perempuan itu. Sempat berpikir untuk bertanya, hanya saja aku tidak suka dan tidak ingin merusak mood. Aku memilih topik lain. Pikiranku hanya sampai untuk tidak mencakar Nico jika memang takut.
Kebodohan terbesarku saat itu adalah menganggap bisa menonton film horror. Saat Yesa dan teman-teman kos lain memberi saran untuk pura-pura takut. Aku menganggap bahwa aku tidak mungkin takut. Aku tidak mungkin bereaksi berlebihan hanya karena genre film. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa kali aku sembunyi di bahu Nico untuk menutupi mataku. Aku punya tangan untuk menutupi wajahku, tetapi justru kugunakan untuk menggenggam lengan jaket Nico. Bahkan ada suatu adegan film yang hampir membuatku menggenggam tangan Nico. Ini bukan lagi pura-pura takut. Aku malah takut sungguhan. Anehnya, aku masih terjaga untuk tidak bersentuhan dengan laki-laki itu. Hal yang membuatku konyol adalah ketika tahu bahwa film itu sama sekali tidak menakutkan untuk Nico, Shasa, Mita, Aya, dan Lia. Aku sendiri heran kenapa bisa takut pada film biasa itu. Tidak ingin terlalu memikirkannya, aku hanya menganggap mungkin karena selama ini film horror yang kutonton adalah film luar. Justru Nico yang berpikir. Aku tidak tahu alasan pastinya karena dia khawatir atau karena risih dengan perlakuanku, yang jelas dia melarang Mita dan Aya untuk mengajakku menonton film horror lagi. Dia yang meminta mereka agar mereka mau menonton film komedi nantinya.
Aku bisa saja terbawa perasaan dengan sikapnya yang perhatian. Namun, karena rasa takutku, aku menganggap itu alasan dia risih denganku. Aku menganggap dia tidak ingin jarak kami terlalu dekat satu sama lain. Aku menganggap dia tidak nyaman dan tidak menikmati film tadi. Aku bisa saja bertanya pendapatnya mengenai film itu untuk mengurangi pikiran berlebihan dalam otak ini. Namun, itu justru menunjukkan kelemahanku yang tidak bisa mengontrol pikiran sendiri. Nico juga bisa berbohong atau memilih tidak menjawab pertanyaanku untuk menjaga perasaanku. Malam itu, aku menghentikan pikiran berlebihan itu dengan menganggap hal yang berlalu biarkan berlalu. Setidaknya, kami sudah pernah menonton bersama. Setidaknya, aku sudah berani mengambil inisiatif. Setidaknya, aku berani mengajaknya jalan. Setidaknya, aku berusaha mengatasi rasa takut akan perasaan itu. Setidaknya, biarkan aku bahagia malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Sendirian
RomanceUntukmu, Aku mengaku aku sudah jatuh cinta padamu sendirian... Terimakasih sudah memberi rasa pada hari-hariku. Tanpa pernah tahu apa kamu pernah tersenyum karenaku. Tanpa pernah tahu apa kamu pernah menangis karenaku. Dan tanpa pernah tahu apa kamu...