Part 3

53 3 0
                                    

            Bulan Oktober berjalan. Pada bulan inilah perasaanku pada Ipi berkurang. Aku menyadari itu bukan perasaan cinta. Seseorang yang jatuh cinta pasti akan selalu mencoba memahami orang itu. Belajar mengerti. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada Ipi. Aku justru sangat kesal dengannya. Aku tidak bisa toleransi dengan dirinya yang tidak bisa memberikan skala prioritas pada kesibukannya. Pada dia yang tidak bisa mengatur jadwal sibuknya. Bahkan, dia tidak bisa memperhatikan dirinya sendiri untuk sekedar makan.

Aku ingat hari dimana kami mendebatkan acara pengajian. Dari awal, aku sudah tidak suka dengan progam itu. Maksudku, bukan aku tidak ingin. Hanya saja, kita tidak bisa memaksa semua orang untuk bisa hadir dalam acara seperti itu. Aku membuat kesepakatan untuk paling tidak dua bulan sekali. Walaupun kenyataannya, hanya sekali yang bisa direalisasikan. Pencetus ide itupun tidak berkontribusi dalam rapat-rapat yang kami adakan. Aku sempat marah pada Ipi. Kepala suku juga marah padanya. Kemudian, meminta Nico menjadi ketua panitia. Nico kembali menjadi ketua panitia. Sekali lagi, aku kagum padanya. Kami bekerja sama. Aku sadar bahwa aku dominan mengurus acara itu. Namun, di satu sisi aku merasa nyaman. Aku merasa aman ketika tahu bahwa Nico selalu ada. Pada dia, aku bisa tidak mengkhawatirkan apapun.

Acara berlangsung dengan baik. Pembimbing kami juga memuji acara berjalan dengan lancar. Aku senang. Walaupun melelahkan. Namun, aku tetap senang acara itu mampu menyatukan kami. Di Akhir acara, beberapa orang berfoto. Aku sempat kehilangan ponsel. Lupa bahwa ponselku dititip dengan Putri. Putri memang teman yang paling dekat denganku di pengurusan. Dia baik. Dia teman yang selalu mengkhawatirkan semua orang. Mencoba peduli dengan semuanya. Dan dia tidak tega membiarkan seseorang kesulitan. Perempuan itu pendiam. Namun, dia bisa diandalkan. Setelah beberapa saat, Putri mengembalikan ponselku.

Saat itu, setiap orang sepertinya memanfaatkan momen itu untuk berfoto dengan orang yang ingin didekatinya. Termasuk aku. Aku sangat ingin berfoto dengan Nico. Entah kenapa tidak semudah orang lain. Resty saja sudah sering berfoto dengannya. Aku mencari waktu yang tepat. Sayangnya, waktu itu tidak ada. Sebagai ketua panitia, tentu saja dia sibuk sampai akhir. Dia juga kelelahan. Bagaimana tidak lelah, jika dia tidak tidur semalaman. Dia pergi jalan-jalan dengan teman-temannya. Itulah yang membuatku kagum selanjutnya, walaupun dia bersenang-senang, dia tidak lupa dengan tanggung jawabnya. Akhirnya, aku hanya membiarkan dia kembali ke kamar tanpa sempat berfoto. Akhirnya, aku hanya menjadi fotografer untuk Yesa dan Khai yang semakin dekat mulai hari itu.

"Padahal ajakan foto untuk acara seperti itu biasa saja. Orang yang tidak saling mempunyai perasaan saja bisa berfoto." Sela Sari di tengah ceritaku. Hari ini aku diminta untuk mengantar surat izin kuliah lapangan. Aku meminta Sari untuk menemaniku. Meninggalkan Steven, Nanda, Hutri dan Yati di kelas. Menjadikan Nico sebagai topik bercerita selama di perjalanan.

"Yaa... bagaimana ya? Temanmu ini kikuk untuk meminta berfoto," Jawabku tersenyum masam.

"Kamu tidak pernah minta foto dengan pria?" Tanya Sari ragu.

"Pernah. Entahlah. Aku juga tidak mengerti kenapa dengan pria yang kusukai malah sulit." Sahutku lagi.

Acara pengajian itu menjadi celah untuk Putri tahu perasaanku. Diikuti oleh Wulan. Mereka sekamar dan satu daerah. Aku tersenyum ketika mereka menebaknya. Saat itu aku bercerita di kamar mereka. Aku tahu Yesa pintar menjaga rahasia. Putri dan Wulan tahu karena gerak-gerikku sendiri selama menyiapkan acara pengajian. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku memberi mereka petunjuk. Dari sana, aku mulai merasa kali ini berbeda. Kali ini, aku tidak bisa menyembunyikan rasa itu. Aku sudah terlanjur berani mencintai, maka biarlah sekalian aku menjadi berani untuk diketahui banyak orang.

---

Kupikir diketahui banyak orang akan menyenangkan. Namun, justru menjadi mengkhawatirkan. Aku masih takut dengan keadaan yang akan membuat Nico menjauh karena risih apabila dia tahu aku menyukainya. Namun, aku tidak suka digosipkan menyukai pria lain. Itu sebabnya dengan sadar aku mengatakan pada temanku bahwa aku menyukai Nico. Setelah dilihat-lihat pria yang hampir digosipkan denganku itu tidak mengambil langkah apapun. Sepertinya dia memang tidak pernah ingin menganggap gosip itu penting. Mungkin dia juga tidak akan bergeming jika digosipkan menyukai Ibu dosen. Mungkin.

Jatuh Cinta SendirianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang