Part 7

36 1 0
                                    

"Dinding lambung kamu tipis sekali. Lambung kamu yang hiperaktif jadi ganggu Kesehatan kamu."

Aku ingat sekali dokter menggunakan bahasa sehalus mungkin untuk mengatakan penyakitku di awal Desember tahun lalu. Setelah menahan lebih dari seminggu, aku memutuskan pergi ke rumah sakit. Tidak semudah itu mengambil Keputusan. Aku perlu dipaksa Ibuku. Pagi minggu itu aku sudah benar-benar lemas. Keluar-masuk toilet untuk mengeluarkan isi perut, entah dari atas atau dari bawah. Mungkin jika ada saudaraku di dekatku, dia akan mengatakan aku sok kuat karena menahan sakit sangat lama. Itu memang kebiasaan yang sulit hilang. Bukan karena takut jarum suntik atau tidak suka minum obat ataupun tidak nyaman ketika harus dirawat inap, aku lebih tidak nyaman jika harus merepotkan banyak orang. Padahal jika aku berpikir panjang, menahan untuk tidak ke rumah sakit adalah cara lain untuk lebih merepotkan orang lain.

Pagi itu, aku menelepon Virgy. Tidak diangkat. Jelas saja karena itu terlalu pagi untuk bangun pagi tanpa jadwal apapun. Aku selalu mengandalkannya jika ingin pergi ke rumah sakit. Aku mungkin akan merasa tidak nyaman mengganggunya jika dia tidak punya tanggung jawab di bagian Kesehatan. Aku sering sakit. Hanya ketika aku sedang di perantauan. Aku sudah sering dirawat inap di rumah sakit. Meminum banyak obat. Itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Aku hampir tidak pernah cerita sudah berapa kali cairan infus masuk ke tubuhku semenjak aku duduk di sekolah dasar. Aku selalu menyembunyikan fakta bahwa aku lemah. Aku malu terlihat lemah. Walaupun tanpa kuberitahu, mereka juga sudah tahu bahwa aku memang lemah. Setidaknya, mereka tidak tahu seberapa lemahnya aku.

Setelah lama memikirkan jalan, menguatkan diri untuk keluar, aku memesan ojol untuk pergi ke klinik. Rencananya sendirian. Tapi Wulan yang sangat baik hati keluar, ikut menemani. Aku sama sekali tidak keberatan. Takut saja aku semakin lemah nantinya. Wulan memang termasuk yang paling muda di antara kami. Namun, kuakui dia lebih dewasa daripadaku. Aku bisa melihat sisi anak-anak dan dewasanya di saat yang sama. Dia memikirkan masa depan dengan hati-hati. Dia melek terhadap keuangan. Pengalaman kerjanya juga banyak. Dia tahu kapan harus menjauhi seseorang ataupun mendekati seseorang. Dia bisa menolak sesuatu yang tidak disukanya dengan cara yang sangat halus. Perempuan itu tahu apa yang dia mau dan tidak dia mau. Jangan lupakan bahwa dia mudah bergaul. Tetapi dia tidak pernah dekat pada seseorang yang tidak membuatnya nyaman. Aku bukan sok tahu tentangnya. Aku hanya mengatakan sesuai sudut pandangku.

Aku benar-benar lemah. Klinik tutup dan aku tidak bisa berpikir jernih. Hanya menunggu Keputusan yang dibuat Wulan. Apapun itu, aku sudah menyiapkan uang. Kami pergi ke rumah sakit beberapa menit kemudian. Aku sudah tidak bisa melihat ponselku. Kondisiku selemah yang tidak kubayangkan. Nurma juga diperiksa di ruangan sebelahku. Wulan benar-benar menjadi wali yang baik. Anak semuda dia mengurus dua kakak Perempuan. Hal yang paling tidak disangka adalah aku rawat inap. Aku memang diberi dua pilihan. Pulang dengan membayar biaya obat atau dirawat inap dengan gratis. Awalnya aku mantap memilih pulang. Aku memikirkan bahwa teman-teman kosku juga banyak yang sakit. Rasanya tidak pantas jika aku sakit di rumah sakit sedangkan mereka saja menahannya. Rasanya malu saja mengakui bahwa aku lemah. Namun, Wulan membujuk untuk memikirkan kembali. Setelah beberapa menit, aku memutuskan rawat inap. Aku harus mengakui bahwa aku memang lemah dan itu tidak apa-apa. Tidak apa-apa menjadi lemah. Tidak apa-apa merepotkan orang lain. Tidak apa-apa pergi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan. Karena hanya aku yang tahu kondisi tubuhku. Hanya aku yang tahu seberapa sakitnya aku. Jika aku pulang dan semakin parah, justru lebih merepotkan.

Ada beberapa yang harus diurus Wulan sebelum aku dapat kamar. Aku sampai memakai kursi roda karena terlalu lemah. Mungkin karena itu waktu terlama aku menahan sakit. Biasanya hanya tiga hari kesanggupanku untuk pergi ke rumah sakit. Hal yang paling membuatku terharu adalah Wulan bahkan belum sarapan. Sekitar jam Sembilan pagi, dia pulang bersama Nurma. Digantikan dengan Nabila. Cukup lama untuk dapat kamar. Aku sempat makan bubur yang dipesan Nabila dan sempat tidur. Konyolnya, Nabila memesan bubur yang ada santannya dan jeruk hangat padahal dia tahu bahwa aku maag. Tapi aku tetap menghargainya dengan makan tanpa kuah dan dia menukar minuman dengan teh es miliknya.

Jatuh Cinta SendirianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang