Hal pertama yang Junmyeon lakukan sore itu adalah pulang lebih awal. Dalam diam berharap Joohyun bukan yang sampai di rumah pertama kali. Junmyeon tidak ingin hanya dengan sapaan 'Selamat datang kembali, Junmyeon' dari Joohyun, dia akan luluh dan melupakan alasan mengapa tindakan wanita itu siang ini cukup membuatnya merasakan emosi asing bernama amarah.
"Kau pulang lebih cepat." Joohyun pulang satu jam setelah Junmyeon. Bukan pertanyaan, melainkan ungkapan ketika melihat Junmyeon duduk di depan televisi sudah dengan pakaian kasualnya. "Tentang pesanmu," sambung Joohyun, bermaksud untuk membahasnya langsung, bahkan dia belum meletakkan tasnya dan kembali berkata, "Aku minta maaf."
Seolah enggan memberi celah untuk Junmyeon menyelinap masuk, meyinggung tindakannya, Joohyun meminta maaf dengan tubuh yang membungkuk ke depan, dan Junmyeon tersinggung karenanya.
"Apa aku terlihat sangat marah sehingga harus diberi hormat seperti itu, Joohyun?" tanyanya, ada penekanan di tiap kata terucap.
Joohyun menegakkan tubuh, matanya memandang lurus tepat di dua netra Junmyeon. "Setelah aku kembali ke meja kerjaku, aku sangat merasa bersalah padamu, Junmyeon-ssi."
"Merasa bersalah dan hanya membaca pesanku saja, begitu?" sangkal Junmyeon dengan nada yang asing bagi Joohyun. Pria itu sadar, tetapi enggan berhenti menuntut pembahasan seperti yang telah dia tetapkan.
Joohyun yang masih berdiri di sana dengan pakaian kerja dan raut lelahnya hanya bisa menghela napas sepelan yang dia bisa. Tentu saja kata maaf tidak cukup, pun dengan menunjukkan bahwa dia benar-benar merasa bersalah. Untuk itu, Joohyun berjalan mendekat, meletakkan tasnya pada sofa sebelum tangannya menggapai Junmyeon, menggenggamnya.
"Kita bisa bicarakan ini sambil duduk, 'kan? Aku mohon?" lirihnya, menarik Junmyeon dengan lembut untuk duduk bersandingan. Joohyun berterima kasih Junmyeon tidak memberikan penolakan.
Ada rasa aneh ketika mereka duduk di atas sofa koleksi dari Helena Modular Selection itu yang langsung jadi favorit Joohyun setelah mereka jatuh tertidur di kali pertama dia mengunjungi apartemen Junmyeon—sekarang mereka duduk di atas sofa favoritnya dalam keadaan berselisih paham.
Dengan tangan yang tetap digenggam, Junmyeon kembali mengangkat kepalanya dan menatap dua manik wanita yang menjadi kekasihnya ini, bahkan calon istri. Junmyeon menghela napas, lalu bersuara, "Boleh aku mendapatkan penjelasan atas apa yang terjadi siang ini? Pikiranku terus menciptakan spekulasi-spekulasi aneh, dan kita berdua tidak akan menyukai itu."
Joohyun mengangguk lemah, merasakan pelan-pelan ketegangannya meluruh dari pundak, terus ke punggung, berakhir menguar dari tubuhnya. Meski Junmyeon tidak menangkap kemelut bahasa tubuh Joohyun, dirinya dapat merasakan bagaimana tangan dingin Joohyun yang menggenggamnya itu perlahan-lahan menghangat.
"Aku tahu bahwa tindakanku siang ini sangat kontradiktif dengan apa yang aku katakan padamu. Aku yang ingin keputusan-keputusan kita keluar dari diskusi bersama, tetapi aku juga yang bertindak semau-maunya," jelas Joohyun perlahan-lahan sebelum dia sampai kepada penjelasannya. "Tentang Jihoo, aku sadar bagaimana air mukamu berubah saat dia menyentuhku. Faktanya, Jihoo adalah rekan pertamaku di sana. Dia menjadi satu-satunya orang yang berbincang padaku di minggu pertama saat kolega lainnya enggan dengan alasan aku terlalu tinggi untuk mereka. Dia adalah apa yang disebut sebagai ekspresif, dan aku harap selama tindakannya tidak membuatku gelisah, we can see him in the same light; as my colleague."
Junmyeon diam, berusaha memahami penjelasan Joohyun dan berharap saat ini dirinya berpikir bukan dengan perasaannya. Junmyeon mengangguk, matanya terkunci pada tangan Joohyun yang mengusap genggaman mereka. Lalu, dia bertanya, "Aku ingin menerimanya, tetapi bagaimana dengan dirinya sendiri, Joohyun? Apa dia juga bisa melihatmu dalam porsi yang seharusnya? Hanya sebagai teman divisi?"
Lalu, Joohyun yang tidak ingin kegusarannya terlihat dengan jelas menjawab, "Itu benar. Untuk itu, aku juga ingin menjelaskannya padamu, Junmyeon-ssi." Joohyun berharap mereka tetap berbincang dalam keadaan ini. Dia berharap Junmyeon tidak kembali menekankan tiap kata-katanya.
"Bagaimana kau akan menjelaskannya, Joohyun?" tuntut Junmyeon dengan matanya yang berharap dia dapat memahami Joohyun.
Melihat tatap mata Junmyeon yang berusaha berada di garis yang sama dengan dirinya, Joohyun menyusun kalimatnya dengan hati-hati. "Tidak ada yang tahu tentang hubungan kita di sana dan kita membahasnya saat makan siang. Tidak ada yang tahu entah aku terbuka untuk sebuah ajakan atau aku sudah memiliki kekasih. Itu situasinya, Junmyeon-ssi, sehingga aku tidak bisa langsung menghakimi Jihoo bersikap ramah terhadapku."
"Namun, tindakan pencegahan harusnya datang darimu, Joohyun. It’s not like you would accept every lunch offer from your male colleagues, right?" Dipatahkan oleh harapannya, Junmyeon melemparkan pertanyaan, kembali menuntaskan emosinya.
Joohyun melepas genggaman tangan mereka ketika Junmyeon memilih untuk jauh bertanya. Dia membuang pandangannya ke sembarang arah, takut kilatan lara itu terpantulkan dari nanarnya mata.
Di saat pertanyaan itu terdengar meragukan loyalitasnya, Joohyun mulai menyalahkan dirinya atas pencegahan-pencegahan yang tidak dia lakukan, seperti kata Junmyeon. Pemikiran itu muncul; harusnya dia mengaku saja kepada semua orang kalau Junmyeon adalah kekasihnya—atau cukup mengatakan statusnya. Harusnya Joohyun bersikap memiliki pada hubungan yang dia punya, membawa fakta bahwa Junmyeon adalah kekasihnya ke setiap sudut yang dia datangi. Pada akhirnya, Joohyun menyalahkan dirinya yang tidak mengenal cinta dan perih itu muncul.
Sebelum Junmyeon melihat kesedihan jelas di wajahnya, Joohyun berdiri meninggalkan percakapan mereka. Lirihan terakhir yang Junmyeon dengar adalah, "Maaf. Sepertinya aku butuh waktu sendiri." Disusul dengan pintu kamar Joohyun yang ditutup rapat.
Asing.
Emosi-emosi yang mereka rasakan saat ini terlalu asing untuk diungkapkan dengan baik. Junmyeon menghempaskan tubuhnya di atas sofa, memejamkan mata, dan menenangkan perasaannya. Dalam pikirnya, Junmyeon berharap Joohyun mau memberikan validasi atas amarahnya.
🍃
•
🍃
Joohyun yang jatuh tertidur dengan jejak-jejak rasa lelah bangun ketika ponselnya berdering. Nama Solar Kim tertera di sana dan Joohyun langsung mengangkat panggilan.
"Halo, Joohyun. Apa kau sudah di rumah?"
"Hai. Iya," jawabnya lekas. Joohyun tidak menyembunyikan bagaimana suaranya terdengar parau di telinga Solar. Ketika Solar terdengar ingin bertanya tentang keadaannya, Joohyun kembali berkata, "Solar-ssi, apa aku boleh datang ke tempatmu?" Hening sesaat, Joohyun kembali menarik napas. "Aku sedang ingin didengarkan."
"Ya Tuhan, Joohyun. Tentu saja. Aku akan selalu mendengarkanmu, dan akan tetap seperti itu. Ku tunggu di rumah, ya? Berhati-hatilah."
Dan setelah itu, Joohyun bergegas mengambil sweater—kembali teringat Junmyeon membawa Joohyun mengelilingi Roppongi, berhenti di Deuxieme Classe ketika Junmyeon berkata, "It feels awry not to give my woman her first-day-of-work gift." Dan berakhir dengan knitted pullover dari Khaite Nalani yang kini akan dia pakai, dan Joohyun menggelengkan kepalanya akan Junmyeon yang selalu ada di tiap sudut pikirannya—seperti sweater ini, dan seperti sofa mereka.
Melangkah keluar, dia dapatkan Junmyeon tertidur di atas sofa. Joohyun menggigit bibir bawahnya ketika mengambil selimut dan dengan hati-hati menyelimuti pria itu tenang. Joohyun membiarkan lampu menyala, memakai sepatu, dan seterusnya mencari taksi.
Dia harap, ada yang mau mendengarkannya setelah ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
EVERGREEN
أدب الهواةSeries: Red Velvet #1 Junmyeon dan Joohyun terlibat dalam eksistensi dunia yang berisik. Dari Seoul hingga Tokyo, Sapporo di Hokkaido, sampai rumah kecil di Asahikawa. Hanya butuh dua tahun Junmyeon meyakinkan diri, lalu menyimpan sisanya untuk hari...