6. Sagita Berbeda

3 1 2
                                    

Sagita menggaruk pipinya yang sama sekali tidak terasa gatal, Sagita sebenarnya agak bingung hari ini, tidak ada yang bisa ia kerjakan dan tidak ada yang harus ia lakukan hari ini. Perempuan itu hanya sedang dalam keadaan pengangguran dan tidak memiliki hal apa pun untuk mengisi kesehariannya.

Sebenarnya ada tugas prakarya, tugas dengan tema budidaya ikan itu merupakan tugas kelompok. Tapi, Sagita juga lupa-lupa ingat, intinya tugas itu berkaitan dengan budidaya ikan dan pilihan utamanya jatuh kepada hewan bersirip juga memiliki sirip yang berkerling-kerling, tugas itu seputar budidaya ikan yang berlangsung selama hampir sebulan.

Sagita sudah menyelesaikan tugas itu bersama kelompoknya, hal itu membuat dirinya tidak memiliki pekerjaan lagi untuk menjadi ladangnya menyibukkan diri. Sagita melipat tangannya di meja dan menyandarkan pipinya di lipatan lengannya itu. Perempuan itu duduk di kursi yang langsung berhadapan dengan pintu kelasnya yang berbahan kaca dan mejanya berhadapan langsung dengan meja guru.

Hari itu, Sagita dan teman-temannya sedang menunggu guru yang tak kunjung datang, padahal jam mata pelajaran itu telah tiba sejak sepuluh menit yang lalu. Anak kelasnya sudah berjalan dan berpindah kesana kemari untuk bermain dan bercanda dengan teman-temannya yang lain.

Sagita nggak ada kerjaan, dan perempuan itu merasa lelah sendiri karena tidak memiliki gairah untuk ikut berinteraksi dengan teman-temannya yang lain. Semuanya sibuk dan Sagita juga sibuk dengan berbagai hal yang berputar-putar dipikirannya.

Sagita tidak sedang memikirkan Sean, tidak juga memikirkan tugas-tugasnya atau makanan apa yang harus ia makan ketika pulang sekolah. Sagita benar-benar merasa bosan dengan dirinya sendiri hari ini.

Perempuan itu juga tidak terlalu perhatian dengan keberadaan Sean yang duduk di meja guru sembari memukul-mukul meja dengan ketukan-ketukan yang berirama. Sean juga sedang menunggu guru yang harusnya mengisi jam di kelasnya itu untuk segera tiba.

Sean sesekali mengalihkan pandangannya untuk melihat seluruh kegiatan yang dilakukan oleh setiap anak manusia di kelasnya, Sean juga menatap ke arah Sagita yang sedang menyandarkan kepalanya di lipatan tangan dan juga menatap anak-anak perempuan di kelasnya yang sibuk tertawa entah karena apa yang Sean juga tidak ketahui.

Sean dan Sagita melakukan hal yang sama, menengok ke arah pintu dan sudut depan ruangan wakil kepala untuk menunggu guru itu keluar dari ruangan kerjanya. Tapi, masih belum ada tanda-tanda jika guru itu akan segera datang.

"Yan, gurunya udah dateng belum?"

Celetuk dari salah seorang temannya membuat Sean menggidikan bahu tampak tidak peduli.

"Mana gue tahu, cek aja sendiri."

Setelah mendapat respon kurang menyenangkan itu, temannya segera berbalik dan kembali menyibukkan diri dengan teman kelasnya yang lain. Sedangkan di sisi lain, Sagita baru menyadari keberadaan Sean dan mereka sempat bertatapan setelahnya dengan respon dari Sean yang menaikan alisnya sebagai bentuk sapaan kepada Sagita.

Sagita menganggukkan kepalanya dengan gerakan kecil, perempuan itu tidak sedang berbunga-bunga seperti biasanya ketika berhadapan dengan Sean, semangatnya untuk berinteraksi sudah surut dan baterai pertemanannya sedang berada di persentase yang sangat rendah.

Perempuan itu memandang wajah Sean sebentar lalu pergi ke arah loker untuk sekadar melihat isinya dan tidak melakukan apa pun, itu adalah salah tingkah versi tidak berapi-api dari Sagita karena tidak bisa berhadapan dalam waktu yang lama dengan Sean.

Sagita kemudian kembali lagi ke bangkunya dan menatap ke arah pintu untuk kesekian kalinya.

"Gurunya udah dateng belum, Yan?"

Sagita tanpa sadar mengeluarkan pertanyaan yang sama kepada Sean, dan merutuki hal itu setelahnya karena baru mengingat bagaimana sikap Sean sebelumnya ketika membalas pertanyaan yang sama.

Namun, berbeda dari keadaan sebelumnya. Sean tertarik dengan pertanyaan Sagita, laki-laki itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Sagita dengan bola mata yang membesar, laki-laki itu menajamkan pendengarannya.

"Kenapa, ta?"

Sean menatap tepat di kedua bola mata Sagita, tidak membiarkan perempuan itu mengalihkan pandangannya barang sejenak saja dari Sean.

Sagita tidak membalas ucapan Sean, tubuh perempuan itu kaku dan mulutnya tertutup rapat tidak mampu untuk mengulang lagi pertanyaannya kepada Sean. Sagita terkunci dalam tatapan laki-laki itu.

Sean yang akhirnya menyadari maksud dari Sagita, segera menundukkan tubuhnya ke arah meja dan menyamping untuk menatap ke luar pintu kaca dan tampak mencari-cari sosok yang telah mereka tunggu sedari tadi.

"Belum kayaknya, ta."

Jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Sagita, tapi yang pasti perempuan itu ambyar setengah mati. Kenapa, sih? Sean selalu membuat Sagita menjadi salah tingkah, padahal tidak selang lima menit Sean mendapatkan pertanyaan yang sama, namun bagaimana bisa pertanyaan itu mendapatkan respon yang sangat jauh berbeda?

Sagita jadi makin bawa perasaan dengan Sean, laki-laki itu paham tidak sih? sikapnya yang seperti itu membuat Sagita salah tingkah habis-habisan. Sagita paham dan tidak mungkin salah paham, tapi bagaimana dirinya bisa menahan perasaannya, dia mau kepedean tapi rasa malunya terasa menusuk sampai ke dalam tulang. Sagita salah tingkah setengah mampus karena laki-laki itu.

Sagita terdiam dan menganggukkan kepalanya pelan merespon ucapan Sean dengan singkat. Teman mereka yang sebelumnya diberi jawaban jutek dari Sean kembali datang dengan raut wajah yang menahan jengkel.

"Giliran Sagita yang nanya ramah lo, ya!" omelnya dengan kesal.

Sean mengidikkan bahunya dan memberikan cengiran khas dari wajahnya sembari kembali mengetuk-ngetuk tangannya di meja.

"Sagita mah beda."

"Ya nggak, ta?"

Sean tersenyum dengan mata bulan sabitnya yang menatap Sagita dengan raut wajahnya yang manis. Sean memang tidak memiliki sopan santun, datang hanya untuk memporak-porandakan hatinya dan pergi seakan tidak ada hal berarti yang terjadi.

Kemudian ketika sore hari tiba, Sagita berakhir dengan menemani Naira piket. Naira kini tengah mengurut kepalanya yang terasa sangat sakit ketika melihat gambaran tidak senonoh yang dibuat Sean menggunakan tipe x.

Mungkin jika hanya satu gambar saja Naira tidak masalah, tetapi, laki-laki sialan itu menggambar pada setiap ubin di antara meja-meja tempat mereka menimba ilmu. Naira hanya bisa memaki di dalam hati, butuh kesabaran yang banyak untuk dengan perlahan membersihkan coretan-coretan itu.

Sagita yang juga menghela napas pasrah melihat hasil dari perbuatan Sean kini memegang penggaris di tangannya.

"Sini Nai, gue bantu bersihin."

Bak pahlawan di sore terik, Sagita kembali berurusan dalam menangani perbuatan kurang ajar yang dilakukan oleh Sean. Sagita dengan sabar menghapus setiap gambaran itu dengan penggarisnya, mengelilingi setiap ubin di sebelah meja-meja yang tersusun dengan rapih.

Sean memang selalu berhasil membuat Sagita merasa tidak nyaman dengan tingkah manisnya juga membuat Sagita merasa lelah dengan seluruh tingkah dan perbuatannya yang tidak sopan.

***

sbnrnya ini chap lele albino .... tapi yaudah ini introny sblm lele.

ak publish ulang, by.. kelewat satu momen membersihkan tipe x di ubin kelas, tapii akkk gamau nambah chapter jdd masukkin di sini aja yaaah.

Sean dan SagitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang