Epilog

13 1 5
                                    

Ingatkan, tentang pertanyaan Sagita di hari itu? hari di mana Sagita menyadari tentang perasaannya kepada Sean.

Jatuh cinta kepada Sean adalah hal yang paling menyenangkan bagi Sagita selama menjalani hari-hari dalam kehidupannya. Sagita tidak merasa terjatuh sedalam itu, jatuh kepada Sean yang membuatnya jatuh hingga ke dalam inti bumi.

Sagita seperti menyaksikan di dalam sana, bagaimana batuan beku terbentuk dan kemudian terkikis lalu terbawa angin, mengendap di suatu tempat dan membentuk batuan sedimen. Persis seperti perasaan Sagita yang membeku lalu menghangat dan berkelana dalam hari-harinya bersama Sean, perasaan yang tercipta, terkikis dan kemudian terbentuk kembali dengan bagian-bagian yang sama.

Perasaan Sagita yang tidak pernah berubah dari pertama kali mereka berjumpa, dari saat pertama Sagita terjatuh di hadapan Sean, terjatuh ke dalam pusaran perasaan yang ia miliki kepada laki-laki itu. Perasaan yang sangat berbeda dengan perasaannya kepada sosok-sosok yang ia temui sebelumnya. Perasaan yang lebih dari sekadar mengagumi kebaikan orang lain dan perasaan yang lebih dari sekadar rasa nyaman.

Perasaan yang mengantarkan Sagita kepada rasa-rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan manis, asam dan pahit, perasaan yang menyenangkan dan membuatnya selalu merasa bahagia serta perasaan tidak tenangnya yang selalu membuatnya merasa khawatir.

Sagita selalu ingat ketika ia akan segera angkat kaki dari sekolahnya itu, dirinya berusaha untuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk memberikan sesuatu kepada Sean. Sagita ingin Sean menyimpan sesuatu yang mengingatkannya kepada perempuan dengan mata segaris itu. Sagita mencari berbagai hal yang kemungkinan akan sangat laki-laki itu sukai. Jersey hingga bola kaki, jam tangan sampai baju koko berwarna biru, Sagita juga sempat berpikir untuk membelikan kopiah baru yang bisa menggantikan kopiah kalajengking milik Sean.

Sagita ingin setidaknya Sean menyimpan sebuah cerita bersama Sagita yang akan selalu laki-laki itu ingat, mengingat Sagita si perempuan bermata segaris yang selalu sibuk mencuri-curi pandang ke arah ketua kelasnya itu di setiap harinya. Sagita yang selalu menatap ke arah lapangan bola basket sepulang sekolah hanya untuk mencari sosok Sean yang tengah mengikuti ekstrakulikuler di sore hari itu.

Sagita yang selalu duduk menyamping ketika diantar ke sekolah hanya untuk menatap ke arah jalan kecil di depan sekolahnya dan berharap Sean berangkat di waktu yang sama bersama perempuan itu di pagi hari yang cerah. Sagita yang selalu mengisi barisan terdepan di masjid ketika waktu dzuhur tiba dan mengintip kecil ke arah barisan paling belakang para siswa laki-laki di mana Sean berada.

Kamasean Sungkara sang pusat kehidupan Sagita Putri Hastari memiliki banyak kisah yang terlukis indah dan menjadi pemeran utama dalam kehidupan Sagita.

Sagita terjatuh kepada jam tangan yang laki-laki itu pakai, perempuan itu berpikir dan merekam dengan baik bagaimana bentuk dari jam tangan itu, warnanya, pola yang terukir dan mencari berapa nominal harga yang perlu dikeluarkan untuk membelinya.

Bukankah lebih bagus jika ia memberikan sesuatu yang berguna bagi Sean? sesuatu yang tidak akan pernah lepas dari keseharian laki-laki itu.

Sagita yang akhirnya menyisihkan sedikit demi sedikit jatah uang saku yang ia miliki untuk membelikan jam tangan hitam untuk Sean kini harus berlapang dada karena tidak akan ada hari kelulusan dan perpisahan di sekolahnya akibat dari pandemi.

Sagita tidak bisa berjumpa dengan Sean dan juga teman-temannya yang lain, tidak bisa duduk di bawah tenda dan menyaksikan indahnya panggung di hari itu, tidak bisa melihat wajah bahagia dari teman-temannya dan juga Sean yang tampan berbalutkan jas berwarna hitam.

Perpisahan yang tidak pernah terjadi seperti pertemuan tak sengaja mereka di hari pertama Sagita menginjakkan kaki di kelas itu, pertemuan yang tidak pernah Sagita pikirkan sebelumnya sama seperti perpisahan mereka yang tidak pernah Sagita bayangkan. Tidak pernah ada perpisahan di antara mereka dan tidak akan pernah ada hingga hari ini, Sagita selalu merasa bahwa dirinya masih menjadi bagian dari mereka, bagian kecil dari sekumpulan anak manusia yang kini telah berada di jalannya masing-masing, jalan yang mengantarkan mereka kepada masa depan yang mulai tergambar. Ketika bertemu, mereka masih terasa sama seperti di masa itu, masa pertama kali mereka bertemu dan bertegur sapa, saling mengenal juga memahami satu sama lain.

Sean dan SagitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang