8. Duduk Berdua

8 1 5
                                    

Mungkin belum dijelaskan sebelumnya bahwa Sagita berada di kelas intensif matematika, Sagita mempelajari matematika dengan frekuensi yang lebih tinggi dari mata pelajaran lain dalam seminggu. Matematika bisa hadir di jadwalnya selama empat hari dari total enam harinya di sekolah.

Bisa dibayangkan betapa mabuk kepayangnya Sagita oleh barisan angka itu karena rumus-rumus dan tugas yang tiada habisnya. Sagita bisa mempelajari matematika dan menguasainya sampai di aljabar saja, ketika memasuki materi selanjutnya, Sagita sama seperti orang-orang yang tidak menyukai pelajaran itu, tidak dengan angkanya atau bahkan soal berceritanya yang membuat kepala pusing.

Iya jika masih menghitung jumlah belanjaan, buah atau terigu yang dipakai oleh ibu untuk membuat kue. Tapi ketika soal itu merambat kepada bangunan ruang, seperti tabung hingga limas, Sagita sudah pasti tidak sanggup untuk memahami pelajaran itu, kepalanya jadi berputar dan tidak mampu menerima materi yang tidak masuk akal menurutnya.

Sagita sekarang tengah terduduk di bangkunya setelah pelajaran matematika usai, kepalanya yang sangat penuh berusaha ia netralkan dengan mencoret-coret kertas di buku tulisnya, membentuk beberapa gambar manis yang membuat hatinya menghangat.

Lukisan sederhana menggunakan pensil, dua insan yang sedang duduk berdua sembari memandang langit, lucunya Sagita menutup kepala laki-lakinya dengan bunga karena ia tidak bisa menggambar rambut, lalu bagian kepala perempuannya ia tutup dengan kain. Sagita terkikik kecil melihat gambarnya sendiri, goresan tangan yang ia buat tanpa kepala, karena ia tidak bisa menggambar garisan-garisan yang membentuk helaian rambut anak manusia.

Perempuan itu memandangi lukisannya dengan senyuman yang terpatri di wajahnya, sesekali ia goreskan pensilnya lagi untuk menajamkan goresan jari-jari tangannya. Sagita menikmati pekerjaannya di sore hari itu dan memberikan ruang hampa di dalam kepalanya untuk menikmati lukisan sederhana yang nampak indah di matanya.

Teman sebangkunya, Sena sedang mencatat rangkaian angka yang tersisa di papan tulis, perempuan itu tampak serius bersama teman-teman lainnya, duduk di depan dan mencatat keseluruhannya tanpa sisa. Sesekali Sena mengusap wajahnya yang berkeringat karena udara panas dengan aura tajam menusuk di kelas mereka.

Tempat duduk yang kosong di sebelah Sagita tiba-tiba menimbulkan suara yang menandakan kehadiran orang di sebelahnya. Sagita belum sempat menoleh karena masih sibuk dengan goresan di buku tulisannya. Ketika wajahnya terangkat dan menangkap sosok di sebelahnya, dwimanik Sagita membola, ia juga mengeratkan genggamannya pada pensil yang ada di telapak tangannya.

Sosok itu adalah Sean, teman sekelasnya yang ia sukai setengah mampus.

Sagita tidak pernah duduk berdua dengan Sean.

Sagita tidak pernah duduk berdua dengan Sean.

Sagita tidak pernah duduk di sebelah Sean.

Sagita tidak pernah berada sedekat ini dengan Sean.

SAGITA TIDAK PERNAH DUDUK BERDUA, DI MEJA YANG SAMA DENGAN BANGKU YANG BERBEDA BERSAMA DENGAN SEAN.

Kira-kira, bagaimana Sagita harus mengungkapkan hal ini?

SAGITA TIDAK BISA.

Sagita tidak bisa mendapatkan Sean duduk di sebelahnya, Sagita tidak baik-baik saja dengan keberadaan Sean di sebelahnya, Sagita tidak mampu melakukan apa pun untuk menghadapi Sean yang duduk di sebelahnya, Sagita tidak bisa berhadapan dengan Sean seperti ini, Sagita tidak bisa berada terlalu dekat dengan Sean, Sagita tidak bisa menerima keberadaan Sean di sebelahnya dan Sagita tidak bisa menghadapi Sean dalam posisi seperti ini.

Sean tidak baik untuk kesehatan Sagita, kesehatan jantungnya, hatinya, matanya, pikirannya dan seluruh indra yang Sagita miliki tidak akan baik-baik saja ketika berhadapan dengan Sean.

Sagita membeku, INI SERIUS SAGITA MEMBEKU SEPERTI DI NOVEL-NOVEL.

SAGITA ENGGAK BISA NGAPA-NGAPAIN.

Perempuan itu berusaha menahan ledakan di dalam perasaannya, Sagita berusaha dengan baik untuk menenangkan perasaannya yang berisik sekali di hatinya. Sagita berusaha untuk tidak membuat tangannya tertatih-tatih dalam menggoreskan pensilnya ke kertas putih. Sagita berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan keberadaan Sean di sebelahnya.

"Gambar apa, ta?"

Wajah Sagita memucat, pertanyaan itu butuh sekitar beberapa detik untuk Sagita memacu perasaannya dan memberikan rangkaian kata-kata ke dalam pikirannya, perasaannya yang mengajak pikirannya berdiskusi sejenak, memilih kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan sederhana dari Sean dan bertikai selama beberapa detik sebelum akhirnya melaporkan kepada Sagita kalimat yang telah mereka susun dengan baik.

"Ha? Gambar-gambar aja kok haha."

Kalimat yang tidak tertata tetapi membutuhkan beberapa waktu untuk akhirnya bisa keluar dan terlantun dengan baik dari bibir Sagita.

Sean menganggukkan kepalanya pelan dan sesekali mencuri pandang kepada lukisan kecil Sagita di kertas itu yang ia gambar dengan pensil. Jasmine yang menyadari keberadaan Sean di belakangnya kini menoleh ke arah laki-laki itu, tersenyum dan akhirnya mengajak Sean berbincang.

"Ngapain lo disini, Yan?"

Sean mendengus kesal, "Lah, emangnya gue gak boleh duduk di sini?"

Laki-laki itu meladeni Jasmine dengan sewot dan dibalas dengan tawa kecil dari perempuan itu.

Sagita hanya menyimak obrolan singkat mereka dan tepat asik menggambar, sebenarnya di asik-asikin aja, karena nggak mungkin juga Sagita mengajak Sean berbicara, berdiskusi atau apa pun itu yang membuat Sagita harus memandang lebih lama wajah Sean.

"Lo nanti mau masuk SMA mana, ta?"

Sean kembali membuka percakapannya dengan Sagita dan membuat perempuan itu menoleh ke arahnya, Sagita tersenyum tipis dan mengangkat sedikit dagunya tampak berpikir.

"Kalau nggak SMAN 3 ya Madrasah lagi, yan."

Sean tersenyum dan menganggukan kepalanya pelan.

"Kalo lo, Yan?"

Bukan, bukan Sagita yang tanya. Jasmine memiliki insiatif yang lebih dari pada Sagita. Sean menoleh ke arah Jasmine dan menggidikan bahunya pelan.

"Nggak tau!"

Sagita kembali lagi dengan kegiatannya, namun dari arah depan Rena datang dan berjalan bolak-balik sampai akhirnya perempuan itu mengangkat kameranya ke arah Sean dan Sagita.

Kacau, Sagita bisa ketahuan kalau begini. Rena memang salah satu orang yang mengetahui perasaannya terhadap Sean, tidak hanya Rena, tetapi tiga perempuan yang berada di depan yang tadinya tengah mencatat kini ikut menyaksikan Sean dan Sagita yang duduk di meja yang sama, mereka Sena, Windy dan Anye.

Sean sekarang sedang asik berbincang dengan Jasmine dan Sagita kembali memfokuskan diri dengan gambarannya, keadaan hatinya sekarang memang tidak karuan tetapi lebih kacau lagi karena menyadari bahwa Chakra, teman dekat Sean kini berdiri dibelakang Rena dan tampak memperhatikan secara diam-diam apa yang sedang dilakukan perempuan itu.

Ah, Sagita sudah pasti ketahuan sekarang.

Ketika sore hari tiba dan mereka semua telah selesai melaksanakan solat ashar, Sagita kembali ke kelas bersama rombongannya, Sean berada di bangku panjang dan duduk di sana dengan gaya serampangan, laki-laki itu bertanya kepada setiap anak manusia yang lewat di depannya mengenai kuku panjangnya dan menyombongkan kuku yang ia miliki.

Semua merespon dengan cara yang negatif, ketika laki-laki itu memamerkan kukunya kepada Sagita, perempuan itulah yang pertama memberi reaksi yang baik. Tetapi Sean memberikan reaksi yang berbeda, laki-laki itu tidak menyukai bagaimana Sagita menyetujui kesombongannya.

Sagita akhirnya paham bahwa Sean sedang memastikan perasaan yang perempuan itu miliki terhadap laki-laki itu. Sean sudah mengetahuinya, Sagita bisa melihat dari bagaimana cara Sean memandangnya sore itu, pandangan yang berbeda dari biasanya dan untuk pertama kalinya laki-laki itu tidak menyukai bagaimana Sagita bersikap kepadanya.

***

yh bgtlha.

Sean dan SagitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang