1. Kopiah Kalajengking

17 3 2
                                    

Hari ini adalah hari pertama Sagita masuk ke sekolah menengah pertama, Sagita tersenyum lebar menyambut hari-hari ospeknya yang telah tiba. Dirinya masuk ke kelas reluger dan berada di kelas yang sama bersama salah satu temannya di sekolah dasar, Abian Permana.

Sagita sebenarnya agak sulit untuk beradaptasi, dirinya juga kebingungan karena harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang jauh berbeda dari masa-masanya di sekolah dasar. Di sekolah barunya, setiap siswa tampak sibuk melakukan berbagai kegiatan, ada yang bercengkrama dengan teman lama, ada yang berusaha mendekat dengan kakak kelas dan ada yang hanya diam menikmati suasana pada hari itu.

Perempuan yang masih mengenakan baju sekolah dasar itu menjadi salah satu sosok yang menikmati berbagai momentum yang terjadi di hari pertama sekolahnya, Sagita jadi tidak banyak bicara karena sama sekali belum mengenal orang-orang disekitarnya.

Abian, satu-satunya orang yang bisa Sagita ajak berbicara dengan nyaman tampaknya telah memiliki beberapa teman baru dan membuat Sagita harus puas untuk hanya memandangi kegiatannya berbincang dengan orang lain.

Pada hari ospek itu, Sagita menikmati banyak penampilan demo ekstrakurikuler di sekolah barunya yang sangat menarik dan memanjakan mata, tema yang dibawakan begitu sayang untuk dilewatkan dengan penampilan para kakak tingkat yang sangat rupawan dan menawan.

Sagita langsung tertarik dengan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja pada hari itu, perempuan bermata sipit dengan papan nama yang bergantung di lehernya itu segera mendaftarkan diri kepada kakak tingkat dan melakukan prosesi wawancara. Di tengah wawancara, pembina ekskul PMR datang dan memaki-maki para anggota PMR atas kesalahan yang tidak Sagita ketahui. Sagita cukup takut dan tidak berani menatap mata guru berkacamata dan berpipi tembam itu.

Selanjutnya, Sagita harus mengikuti proses pemeriksaan kesehatan dari tinggi badan sampai penglihatan, ketika orang-orang melakukan pemeriksaan mata, Sagita memikirkan berbagai cara untuk kabur dari ruang UKS, ia bolak-balik masuk UKS dan mencuri-curi pandang kearah ranselnya yang tertinggal di dalam ruangan. Kemudian, perempuan itu berlagak tidak tahu menahu dan meminta tolong diambilkan ranselnya oleh beberapa siswa baru yang sedang duduk menunggu giliran pemeriksaan. Setelah mendapat ranselnya, Sagita langsung ngacir dengan terbirit-birit dan pergi masuk ke dalam kelas kelompok MOS-nya.

Ketika Sagita hendak pergi keluar kelas untuk mencuci tangan, Sesosok kakak kelas yang merupakan teman dari Abian sedang berdiri di depan pintu dan tampak berbincang dengan Abian, Sagita tentunya harus tetap keluar untuk mencuci tangannya. Ketika itu, Sagita akhirnya ikut dalam perbincangan mereka karena tidak ada orang lain lagi yang bisa berbincang dengan Sagita di kelas itu, semuanya sibuk mendaftarkan diri ke beberapa organisasi di sekolah itu.

Kakak kelas itu bernama Bima, sekilas Sagita mengenalnya dan berbincang dengan lelaki itu, Sagita ternyata jatuh cinta lagi untuk kesekian kalinya. Sagita memang semudah itu untuk jatuh hati, kakak kelas itu baik padanya, berbicara dengan cara yang nyaman padanya dan menatap matanya ketika mereka saling berbicara.

Sagita si anak perempuan yang lugu ternyata belum bisa membedakan perasaan yang ia rasakan, padahal perasaan yang ia alami tidak lebih dari sekedar rasa tertarik dan ingin tahu tentang siapa lawan bicaranya itu.

Rasa ketertarikan yang biasa hadir di antara lawan jenis ketika mereka mulai berinteraksi secara nyaman dan berusaha untuk memahami masing-masing karakter dari diri mereka. Sagita yang tidak terlalu paham dengan perasaannya sendiri, selalu menyimpulkan bahwa ia jatuh cinta kepada sosok-sosok yang membuatnya merasa tertarik. Sagita tidak bisa membedakan perasaan itu hingga akhirnya ia jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Ketika Sagita yang baru saja seminggu menetap di kelas reguler, tiba-tiba mendapatkan kesempatan untuk masuk dan mengisi bangku-bangku kosong di kelas yang setingkat lebih tinggi dari kelas reguler. Sagita yang dahulu tidak berhasil untuk masuk ke kelas itu, sekarang dengan mudah masuk untuk mengisi kelas itu sebagai salah satu siswa tetap di dalamnya.

Wajah-wajah baru kembali harus Sagita kenali dan suasana baru yang perlu penyesuaian dari diri Sagita agar dapat menerima Sagita sebagai bagian dari mereka. Perempuan itu juga bertemu lagi dengan temannya di sekolah dasar, Arkan Januar si anak laki-laki tengil yang rumahnya berada di depan sekolah dasar.

Sagita cukup bingung karena lagi-lagi dirinya menjadi orang baru di antara setiap anak manusia yang telah mengenal satu sama lain, Sagita berusaha untuk beradaptasi dengan tatapan yang menyambutnya dan tatapan yang sama sekali tidak tertarik dengan dirinya. Sagita yang kebingungan hanya berusaha untuk mencari tempat yang tepat untuk ia duduki.

Pada hari selanjutnya, Sagita bertemu dengan orang-orang baru dan berusaha mengenal mereka dengan baik. Di pagi hari yang cerah itu, sosok anak laki-laki dengan pakain yang tidak terlalu rapih dengan rambut yang sedikit ikal berjalan keliling membawa kopiahnya yang berwarna hitam, kopiah yang ia tadahkan dengan wajah merengut kepada setiap meja yang ia lewati.

Anak laki-laki itu tampaknya sedang mengambil sumbangan rutin yang dilakukan setiap harinya, dari pada terlihat meminta sumbangan, sosok itu malah tampak seperti rentenir yang memaksa setiap orang untuk membayar segera kepadanya. Mata tajamnya menghunus kearah setiap anak perempuan dan menagih sumbangannya.

Sampai ketika anak laki-laki itu berada di meja Sagita dan menagih sumbangan, akhirnya Sagita paham mengapa orang-orang dengan segera memasukkan uangnya ke dalam kopiah itu. Wajah Sagita memucat dan menahan seluruh ekspresi tidak mengenakan yang mungkin akan keluar dari wajahnya.

Kopiah dengan bau kalajengking yang menyengat itu seakan mengejek Sagita dan memerintahkannya untuk segera memberi sumbangan, setelah Sagita memasukkan uangnya dan anak laki-laki itu pergi, Sagita menarik napasnya perlahan dengan sedikit bau yang masih tertinggal di penciumannya.

Rasanya seperti akan mati, bau apek yang sangat aneh itu membuat Sagita menggeleng-gelengkan kepalanya. Kejadian yang paling parah di hari-hari awalnya di sekolah menengah pertama yang tidak akan mungkin Sagita lupakan, kecuali kepalanya terbentur atau takdir Tuhan yang berkata lain.

Bukan hanya pandangan mata anak laki-laki itu yang tampak tidak sopan, akan tetapi kopiah yang sering ia kenakan juga mengeluarkan bau yang sungguh tidak sopan untuk menyapa Sagita setiap hari ketika menagih sumbangan, Sagita selalu berharap bahwa anak laki-laki itu sadar dan segera mencuci atau mengganti kopiahnya dengan yang baru dan wangi yang lebih baik.

***

sean dan sagita ini ceritanya ril yh gais, kl egx ril akan aq beri tahu setiap ceritany selesai dgn tulisan miring ini. q buat cerita ini agar ak egx lupa dengan setiap momen manis yg trjdi dlm hidup q dahulu. byeee!

Sean dan SagitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang