∆∆∆
"Semua yang tertulis di situ benar."
"Aku... dilarang mencintai manusia?"
"Benar."
"Kenapa?"
∆∆∆
Bau petrichor kian menyengat seiring dengan hujan yang semakin lebat. Sudah hampir satu jam berlalu tapi tampaknya bulir-bulir air itu tidak ingin berbelas kasih hanya untuk menurunkan volumenya yang tercurah ke bumi untuk memperlihatkan si jingganya. Jingga yang sudah ditunggu-tunggu Aksena untuk ditontonnya pada minggu sore ini. Jingga yang entah kenapa teramat sangat dia rindukan.
Sena tengah duduk di sana, menghadap jalan di atas kursi bar sebuah cafe berfurniture kayu kuno. Cafe itu terlihat sangat tidak terurus disertai sarang laba-laba di tiap sudutnya. Dengan hanya ditemani satu lampu redup di dekat jam dinding, lelaki itu benar-benar dilingkupi oleh hawa mistis yang kental. Sejauh ujung pandangpun hanya ada lapangan tanah luas yang kini lembab dan beberapa kubangan dipenuhi air kecoklatan yang terus tecurahi rintik hujan. Langit sepenuhnya kelabu, seiring dengan kedua mata Sena yang terus menyendu.
Seraya menghisap sebatang rokok yang tersemat diantara jarinya, lelaki itu lagi-lagi melirik ke sudut ruangan. Jam menunjukkan pukul 5.17. Menurut sosok terakhir yang mengantarkannya ke Cafe yang kini ia tempati, perjanjian itu akan diberikan tepat petang ini tapi kini sudah batang keempat yang Sena hisap dan dia mulai jenuh sendiri. Ketika jarinya sudah siap mengeluarkan batang selanjutnya, suara bel berdering di pintu masuk menghentikan geraknya.
Sena meneliti dengan seksama satu sosok laki-laki yang membuka pintu. Pakaian serba hitam dari mulai kemeja, jas, celana bahan serta sepatu formal mengkilap. Rambutnya dipangkas rapi macam akan mengikuti wamil dalam beberapa hari. Juga bentuk wajah yang tegas, sorot mata mematikan dan kulit yang teramat putih, terkesan pucat. Jangan lupakan aura dan postur tinggi berototnya yang penuh intimidasi, siap menguliti Sena kapanpun dia mau. Sebelum pintu benar-benar tertutup, tba-tiba terdengar gelegar petir dari belakang punggungnya, ditambah nyala kilat membentuk siluetnya secara paripurna. Sena seketika mengeret agak ngeri. Kendati di luar masih hujan deras, lelaki itu sama sekali tidak terlihat kebasahan.
"Tampaknya kamu sudah berdaptasi dengan baik?" Lelaki itu mendekat lalu duduk di samping Sena. Ekspresi wajahnya saat ini jelas terlihat jengah dan jijik mendapati kondisi cafe yang kotor dan penuh debu ini.
"Hanya mencoba, tidak enak menurutku." Sena melirik pada tas hitam yang dibawa oleh sosok disampingnya. "Perjanjian itu ada di dalamnya?"
Tanpa menjawab pertanyaan Sena, dia lalu menyimpan tas ke atas meja, "Namaku Esha or Sha for short." Esha mengernyit kesal mendapati meja itu dipenuhi debu dan tumpahan kopi yang sudah mengering di atasnya. Buru-buru dia menjentikkan jari, membuat seluruh permukaan meja mengkilat bersih.
Harusnya Sena dibuat takjub, tapi setelah memasuki dunia ini sejak berbulan-bulan lalu, dia sudah mulai terbiasa. Bahkan yang membuatnya heran adalah cara Esha memasuki ruangan tampak seperti manusia beradab, bukan yang tiba-tiba berada di sampingnya tanpa aba-aba. "Kita perlu berkenalan?"
Esha mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya, "Kurasa mungkin perlu. Terlebih aku ragu jika kita kedepannya akan saling memanggil dengan kata 'hei' lebih baik nama, bukan?"
"Kita? Kedepannya? Maksudmu?"
Esha hanya bisa memutar kedua bola matanya malas, "Kita akan terus bersama kedepannya, Sena."
Sena mendadak kebingungan, mengingat dirinya akan terus bersama dengan sosok yang terbalut hawa menyeramkan, membuatnya jadi agak ketar-ketir sendiri. "Aku tidak mau ditemani. Aku bisa menjalani kehidupan ini sendiri. Aku tidak membutuhkanmu."
"Sayangnya, garis takdir yang kau minta kurang spesifik dan lengkap. Akhirnya aku yang ditugaskan untuk terus menjagamu agar kamu tidak melanggar isi dari perjanjian ini." Esha menyodorkan sebuah kertas berisi perjanjian kepada Sena.
Di dalam kertas tersebut ada beberapa poin perjanjian yang standar menurut Sena. Seperti tidak boleh menceritakan dan menyebarluaskan mengenai dunia yang sebelumnya dianggap tidak nyata dan hanyalah dongeng belaka oleh para manusia, sosok Esha yang akan terus menemaninya dan misi jiwa yang perlu dia tuntaskan.
Misi jiwa? Mungkin aku bisa menanyakannya nanti.
Kejenuhannya berlama-lama berada di tempat ini membuat Sena buru-buru meraih pena yang diberikan oleh Esha. Namun terhenti ketika matanya mendapati satu baris kalimat yang agak mengganggu. Esha kelihatannya juga ikut membaca dan hanya bisa menghela napas lelah.
"Masih lama? Aku ada acara penting sehabis ini."
Sena malah jadi salah fokus. "Oh makhluk seperti mu memiliki acara? Seperti pesta ulang tahun?"
"Makhluk seperti ku memiliki banyak acara. Tidak seperti makhluk sepertimu yang hanya bisa duduk terdiam berhari-hari sambil menghisap rokok yang dicuri diam-diam dari para manusia mabuk di jalanan." Esha mendengus jengkel. "Kamu mau tanda tangan tidak? Jika tidak aku akan mengembalikanmu ke Pemilik Takdir saja."
Aksena ikut mengernyit sebal, berniat membubuhkan tanda tangannya sebelum lagi-lagi melirik pada Esha. "Tapi apakah ini benar?"
"Semua yang tertulis di situ benar."
"Aku... dilarang mencintai manusia?"
"Benar."
"Kenapa?"
Lagi-lagi Esha mendengus jengkel. "Kamu akan tahu akibatnya nanti. Jangan pernah coba-coba untuk melanggar atau konsekuensinya lebih berat dan lebih menyiksa daripada diam di sini sampai berakar. Oiya, satu lagi," Esha menatap Sena penuh penghakiman. "Jika nanti kita tinggal bersama, aku tidak suka hal-hal yang kotor, bau dan jorok."
"Aku tidak kotor, bau dan jorok." Sena membalas sewot.
"Dilihat dari baju yang kamu pakai, bau menyengat ini dan kondisi cafe sekarang, kamu tidak bisa membuat banyak pembelaan."
"Bau menyengat apa?!" Sena segera mengendus t-shirt hitamnya lalu mendesis kesal. "Tidak tercium bau apapun. Selain menyebalkan, kamu pintar mengarang juga!"
Mereka berdua kemudian saling mendengus kencang ke sampingnya, melampiaskan rasa kesal masing-masing.
Setelah menimang sebentar, Sena akhirnya memantapkan tekad. Lelaki itu membubuhkan tanda tangannya dan dalam sekejap, kertas perjanjian itu menguarkan cahaya yang sangat terang. Sena bahkan belum sempat memahami situasi yang tengah terjadi, sampai kertas itu sekan menghisapnya masuk ke dalam blackhole. Kemudian semuanya menjadi gelap, pekat dan damai.
-
Author's note,
Hi, nice to meet you all ❤️
Hope you enjoy it and see you~
KAMU SEDANG MEMBACA
Resiliensi |
Fantasy[ Follow sebelum membaca ] "The capacity to withstand or to recover quickly from difficulties; toughness." Aksena sungguh tahu bahwa selalu ada batas untuk segala hal yang ada di dunia ini pun di dunia-nya. Tapi dia tidak pernah terpikir sedikitpun...