4. Obsidian Eye

12 5 0
                                    

∆∆∆

"Aku tidak ingin mendahului takdir. Tapi misi jiwamu perlu dituntaskan." Esha menatap serius pada dua bola mata obsidian milik Sena.

∆∆∆

"Pagi, Bang." Sandi tau-tau menyapa seraya berjalan ke balik pantry.

"Pagiiii. Kita buka Cafe sepagi ini?" Sena celingukan mencari jam. "Pukul 7?"

"Bener kata lo, San. Bang Sena bener-bener hilang ingatan. Awalnya gue gak percaya. Tapi ngeliat doi sekarang, yakin gua seenggaknya dia udah kejedot pohon kelapa."

Sena memiringkan wajahnya, menatap pada sesosok gadis yang lengkap dengan apron Cafe dan rambut sebahunya berjalan menuju deretan meja. Gadis itu celingukan sebelum menyemprot meja dengan cairan pembersih dan mengelapnya. "Bang Sena, tumben cewek lo jam segini belum datang?"

Sena ikut celingukan, "Cewek?" Diliriknya name tag gadis tersebut. "Kamu orangnya memang suka bercanda, Lexa."

"Bang?"

"Ya?"

"Minum obat gih." Lexa buru-buru mengambil segelas air. "Minum dulu minum."

"Oke-oke. Aku bisa minum sendiri."

"Sandi. Fix gue merinding. Sorry, Bang. Tapi gue harus jauh-jauh dulu dari lo kayanya. GWS, Bang." Lexa ngacir disertai ekspresinya yang terheran-heran.

Akhirnya Sena ditinggal sendirian. Baik Sandi maupun Lexa sepertinya saat ini sengaja menghindar. Yah lagipula siapa yang tidak keheranan mendapati kepribadian Sena yang 180° berubah? Di tengah-tengah kecamuk badai dalam pikirannya, bel pintu masuk Cafe tau-tau berbunyi. Kasena menengok ke belakangnya lalu mendapati Esha masuk dengan wajah syarat emosi.

Di sisi lain, mendengar bel yang berbunyi, Lexa lantas buru-buru keluar dari dapur. Tapi karena tidak mendapati pengunjung satupun, gadis itu kembali kabur setelah bertatapan dengan Sena.

"Ada apa dengan gadis itu? Dia melihatmu seakan telah melihat hantu."

"Entahlah. Mungkin dia kebingungan. Yah akupun sama." Sena beralih pada Esha yang kini duduk di samping kursinya. "Kamu terlihat sangat emosi. Ada hal menarik yang terjadi?"

"Mari kita ke kamarmu. Kurasa kita bisa mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya di sana."

Mendapati intonasi keseriusan dalam suara Esha, Sena langsung berjalan menaiki tangga ke lantai 2 dimana kamarnya berada.

"Sudah kuduga."

Esha turun dari atas meja, beralih menidurkan dirinya di atas kasur empuk Sena. Sedangkan si empunya masih termenung di kursi, menghadap berlembar-lembar informasi yang kini berserakan. Berisi biodatanya sendiri.

"Coba bayangkan." Esha menelungkupkan kepalanya, mencari sandaran yang nyaman. "Setidaknya kamu tidak jomblo."

"Wah terdengar seperti kabar yang sangat bagus ya."

"Bagaimanapun, kamu yang memintanya dari awal. Maka kamu harus bisa menanggungnya sampai akhir."

Sena menghela napas. "Aku tahu. Mari kita lihat. Biar ku ulang. Aku Sastra Aksena Tjiaksara. Pemilik Klise Cafe. Memiliki 2 pegawai. Risandi dan Lexandra. Nama pacar Alula."

"Alula ini... Terdengar feminim. Sesuai tipeku."

"Jangan salah fokus!" Sena menggerutu kesal sebelum ikut menjatuhkan diri di atas kasur. "Tapi bagaimana kamu tahu bahwa lembar biodata itu ada di laciku?"

Resiliensi |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang