3. Red Thread

16 5 0
                                    

∆∆∆

Sesuatu di dalam dadanya berdesir. Ini adalah takdir yang baik....atau buruk untuknya?

atau buruk untuknya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

∆∆∆

Setelah berhasil membuat Esha mengamuk hingga dengan tidak sengaja mencakar punggung tangan Sena, keduanya kembali ke Cafe.

Sandi menjadi orang pertama yang histeris mendapati cucuran darah dari tangan Sena. Lelaki itu lantas berlari ke pintu dapur kotor Cafe lalu mengambil sekotak P3K yang tersedia. Beberapa pengunjung yang masih ada ikut celingukan penasaran sebelum Aksena memperlihatkan senyum ramah seakan berkata dia baik-baik saja.

"Bang, lo kenapa dah." Sandi hati-hati mencuci darah Sena lalu mengeluarkan perban juga plester. Sena hanya bisa meringis. Satu tangannya dia pakai untuk menggenggam erat tepian meja.

"Kok ini kaya bekas cakar, Bang?" Mata Sandi melirik pada seekor kucing yang tengah duduk di sisi lain kursi. "Kucing itu yang cakar lo ya bang?"

Sena hanya bisa meringis menjawab pertanyaan Sandi. Sedangkan Sandi malah memasang tampang julid.

"Emang kucing oren tu titisan dakjal, Bang."

Esha melirik sinis seraya mencoba untuk menghentikan ekornya yang menari-nari. Sebuah adaptasi yang masih agak sulit dia lakukan saat ini.

Sena memilih untuk keluar dari Cafe setelah lukanya terbalut rapi. Dia berjalan menyusuri pelataran Cafe, memperhatikan bunga yang berkilau diterpa lampu taman.

"Sangat melankolis. Apakah sebentar lagi akan ada air mata yang menitik dari sana?" Esha tau-tau sudah berada di sampingnya, setia dengan muka--kucing--mengejek.

Sena hanya bisa cemberut. "Tunggu, bagaimana bisa kamu berubah begini? Walau sebenarnya aku lebih suka melihatmu terlihat tidak berdaya begini, aku tetap penasaran."

"Aku pun tidak tahu pasti." Esha mengangkat kaki kanan lalu menggaruk belakang lehernya. "Oh tidak, kenapa ini terasa menyenangkan."

"Ewh."

"Sepertinya aku harus pergi. Aku perlu tahu kenapa aku berubah menjadi seekor kucing..." Esha meneliti tampilannya dengan tampang nelangsa. "...yang gemuk. Kemana hilangnya seluruh otot sempurnaku?!!!"

"Extra gemuk, jika boleh aku koreksi bahasamu."

"Ah aku lelah setelah mencakarmu. Mungkin akan ada waktu lain untuk cakaran berikutnya."

Sena menatap ngeri sebelum mendekap kedua tangannya erat-erat. Tiga cakaran memanjang di tangannya yang diperban saja belum mengering.

"Aku perlu pergi. Mungkin akan lama. Oh sial perjanjian itu jelas menulis kita tidak boleh berjauhan lebih dari 1x24 jam." Esha menoleh. "Kuharap kamu tidak melakukan hal yang aneh selagi aku pergi."

Resiliensi |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang