"Seperti apa yang ada di dalam pasu"
.
.
.
Anggar POV
Capek..
Capek hidup.
Bercanda.
Itu kalimat pertama yang ingin aku ucapkan saat ini. Capek. Kaki-kakiku juga jadi 4L (lemah, letih, lesu, loyo)-persis kayak permen yupinya Mahesa yang kadaluwarsa.
Tadi niatnya, aku mau pulang.
Ke rumah kok, bukan rahmatullah.
Tapi sayang sejuta sayang, mobil yang biasanya datang menjemputku sama Nagen sudah lebih dulu pergi nggak tau kemana. Bus sekolah sudah habis jam, taksipun nggak sama sekali menunjukkan batang spion.
Angkot?
Nggak ada juga.
Mungkin tenggelam.
Kemarin 'kan ada banjir bandang.
Dan berakhir begini. Jalan kaki.
Jarak dari rumah ke sekolah itu sebenarnya jauh. Mungkin sekitar tiga puluh menit waktu yang ditempuh kalau naik mobil.
Dan coba tebak kalau jalan kaki?
Nggak tau.
Aku kayaknya sudah jalan lebih dari empat puluh menit tapi kok nggak sampai-sampai, ya.
Heran.
Apa nyasar?
Tapi enggak kok, lah.
Itu buktinya ada warung Mang Rudi-tempat Ibunya si bocah aneh tetangga Kakek Jung bekerja.
Yang berarti, masih butuh sekitar lima belas menit lagi aku bisa sampai di rumah.
Hhh..
Dirasa-rasa, jalan kaki, capek juga, ya.
Nggak kebayang bagaimana capeknya bocah aneh itu harus bolak-balik dari ngetan ke ngulon buat mencari sepeser uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Tonggak Nabastala
RandomPercaya atau tidak, dia sudah terlalu lama menetap.