XX APRIL
Anggar ingin sedikit bercerita disini. Bolehkah?
Usianya baru menginjak 12 tahun tiga hari kemarin.
Tapi Anggar reaksi Anggar biasa saja—oh! Atau lebih tepatnya, dibuat biasa saja.
Kalau boleh jujur, Anggar takut mati. Apalagi ketika dokter Luke menjelaskan bahwa organ dalam tubuhnya kian bermasalah karena dirembeti gumpalan-gumpalan racun.
Alasannya?
Penyakitan.
Ya seharusnya Anggar tidak penyakitan jika saja—heh!
Berhentilah berangan dengan kalimat jika saja!
Hidup Anggar itu konsepnya memang seperti air sungai yang dibiarkan mengalir tanpa sama sekali perlawanan. Karena ia tau, tidak ada setetes pun air yang dapat melawan berjuta-juta tetes air lainnya kalau seumpama ingin mengubah arah arus.
"Kamu ngapain disini, sih?! Mengganggu pemandangan banget tau, nggak?!" Anggar menggela nafasnya panjang sesaat seusai ia menolehkan kepala ke arah sang adik yang berdiri di dekat kolam.
Maniknya sedikit berotasi malas ketika mendapati wajah Nagen yang selalu tampak memerah pucat kalau sudah berhadapan dengannya.
Nagen itu bocah penyakitan!!! Lalu pasti bisa di awang awang 'kan jika bingkai yang tadinya berwarna pasi mendadak berubah menjadi merah padam seperti itu hanya dalam hitungan detik saja?
Aneh, sekali!
Oh ya, ngomong-ngomong, Anggar sedang berada di rumah sakit. Sebagai anak penurut, Anggar mau-mau saja ketika sang ayah menggeretnya kemari pagi tadi.
Toh, melawan pun tak berguna.
"Pergi sana! Aku mau duduk disitu!" Nagen mengusir; menunjuk Anggar yang tengah asik duduk di saung dekat kolam.
Lantas mendengarnya, Anggar bangkit dan berlalu pergi masuk ke dalam kamar. Setidaknya, hal itu yang Anggar niatkan sebelum sebuah benda keras menghantam kuat kepala bagian belakangnya hingga nyaris membuat si empu jatuh tersungkur.
Bugkhh
"Asshh!"
Tiba-tiba, semua yang berada di dalam frame penglihatan Anggar tampak berputar-putar hebat seakan ia adalah bianglala. Pun diiring suara alami sayap nyamuk yang juga ikut serta melengkapi rasa sakitnya.
Bocah lelaki itu berakhir meraba-raba daerah pesekitaran; berharap ia akan menemukan barangkali tembok untuk Anggar jadikan tempat berpegangan.
Namun nihil, tidak ada sama sekali tembok di daerah sana kecuali tembok yang memang berada di dekat pintu keluar masuk area kolam.
Tidak ingin berputus asa, Anggar kemudian memejamkan kedua maniknya dan mengatur nafasnya yang kelewat cepat.
Perlahan, ia langkahkan pasang kaki tak terlalu panjang miliknya itu ke sembarang arah; tentu dengan posisi yang berhati-hati. Karena jika tidak, peluang untuk Anggar terjatuh akan semakin terbuka lebar-lebar.
Tapi..
.. nyatanya Nagen tidak membiarkan hal tersebut terjadi.
Bersama seringaian menjengkelkan yang seketika terpatri pada bibirnya, ia secara sadar mulai bergerak maju; mendekati Anggar yang ketika itu posisinya sudah cukup menjauh dari area kolam.
Setelah dirasa pas, seringaian pada bingkai Nagen berubah menjadi cengiran mengerikan ala ala joker sirkus.
"BELUM MANDI KAMU 'KAN?! CUSS, MANDI DULU!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Tonggak Nabastala
RastgelePercaya atau tidak, dia sudah terlalu lama menetap.