SELASA, XX, MEI
09.39 AM
Karya menghela nafas panjang karena kesekian kalinya Mas Yo meninggalkan jadwal kerjanya entah untuk apa. Padahal empat hari kemarin, Mas Yo sudah rutin berangkat-pulang kerja. Tapi sekarang? Pemuda berusia 15 tahun itu kembali menghilang!
Bukannya apa, ya. Karya 'kan jadi kesepian.
"Kenapa telat kamu?"
"Tadi—
"Udah keseringan telat, masih aja minta digaji lebih."
"Ma—
"Apa-apaan kayak gitu? Kerjanya nggak bener, lagi."
"Ck, ck, ck!"
"Bocah bocah sekarang emang cuma bisa menguras dompet orang tua! Sekalinya disuruh kerja, pasti nggak pernah ada yang beres."
"Ba—
"Wong sekolah udah nggak dilanjut, ya, kerja yang bener, dong! Minimal, kalo nggak bisa ngebanggain orang tua, ya, jadilah anak yang berguna!"
"Maaf.."
Ck! Karya merutuki dirinya sendiri sambil menonton punggung penuh lemak itu pergi menjauh. Sepertinya dia mengeluarkan tenaga ekstra guna menggantikan Mas Yo lagi.
✧•✫☆✮☆✫•✧
Kediaman Yauga, 17.57 PM
Tampak empunya tengah sibuk berkutat dengan barang-barang aneh di laboratorium. Bahkan saking sibuknya, Mas Yo sampai mengacuhkan kehadiran sang adik yang kini singgah di sisinya.
"Jangan lupa makan. Nanti Kakak mati."
"Kamu ngedoa'in Kakak cepet mati?"
"Ini bukan do'a karena begitu faktanya."
Mas Yo menghela pendek seraya menolehkan kepala. Ia mendapati Astra; adik satu-satunya yang melayangkan tatapan datar.
Matanya yang sipit dan berwarna obsidian pekat seakan menyimpan ribuan rahasia. Kulitnya sepucat kulit mayat, kontras dengan rambut hitam arang yang terurai lembut di bahunya.
Dia terduduk di kursi roda dengan postur yang anggun meski terlihat rapuh. Tangan-tangannya yang ramping dan kurus terletak di pangkuan.
Sebuah kalung perak sederhana tergantung di lehernya, satu-satunya perhiasan yang ia kenakan.
Astra ini jarang keluar rumah—boro-boro keluar rumah, sebatas keluar kamar saja, Astra nyaris tak pernah. Jika ia sudah keluar kamar seperti ini, artinya dia sedang murka. Buktinya, Astra terus merusuh saat ia riweuh menyelesaikan sesuatu.
"Kamu mending istirahat. Jangan ganggu dulu. Kakak janji nanti bakal makan. Suer!"
"Kapan aku ganggu aktivitas Kakak? 'Kan aku daritadi diam?"
"Dipikir Kakak nggak tau kalau di belakangmu ada makhluk aneh?" Mas Yo mendengus. Dirinya memang tidak bisa melihat hantu atau penyandang status 'indigo' seperti Astra. Tapi jangan kira Mas Yo tidak bisa merasakan hawa kehadiran makhluk-makhluk aneh peliharaan adiknya itu.
Iya, Astra indigo. Entah betulan atau tidak, Mas Yo tak sepenuhnya tau.
"Dia juga nggak banyak gerak, kok."
"Terserah."
Lalu setelahnya hening. Yauga dengan botol-botol obat di tangannya, dan Astra dengan pandangan yang senantiasa mengarah kepada kakaknya.
"Kak."
"Apa?"
"Di sana ada Ayah?"
Yauga mengernyit bingung.
"Di rumah sakit, ada Ayah?"
Ekspresi Mas Yo berubah menjadi masam menyadari pertanyaan yang adiknya lontarkan. Ia lalu menjawab singkat, "Nggak ada."
Yauga tidak membenci ayahnya. Dia sebatas tak suka kepada pria itu karena satu masalah dari masa lalu. Andai saja Ayah tidak meninggalkan mereka, andai saja Ayah mau membujuk Ibu disaat semuanya berada pada ambang, andai.. andai..
Mungkin rasa tak suka ini tidak akan pernah tumbuh barang seujung kukupun.
"Tapi—
—Ayah kita udah mati, Tra." Mas Yo memotong, "Bukan raganya, tapi jiwanya." Sambungnya tanpa mengalihkan atensi.
Lalu hening.
Lagi.
"Anak itu, anak ayah?"
"Dibilang Ayah udah ma—
—enggak. Aku tanya, anak itu anak Ayah?"
"Anak apa? Anak yang mana?"
"Yang selalu Kakak kirimi obat."
"Bukan."
"Bukan anak Ayah?"
"Iya."
Mas Yo merasakan hatinya berdesir ketika melihat wajah Astra yang sendu. Ia yakin kalau Astra merindukan sang Ayah, tapi untuk saat ini, Yauga belum siap.
Konsekuensinya masih terlalu besar. Yauga hanya takut untuk kembali mendapatkan luka. Mungkin ia akan baik-baik saja. Tapi Astra? Bagaimana reaksinya jika tau bahwa sang Ayah sudah berkeluarga?
"ASSALAMUALAIKUM! MAS YO!"
"Aku pergi ke kamar ya, Kak. Jangan lupa makan."
✧•✫☆✮☆✫•✧
TBC yerubunnn~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Tonggak Nabastala
Ngẫu nhiênPercaya atau tidak, dia sudah terlalu lama menetap.