JUM'AT, XX, MEI
Kediaman Yauga, 12.19 PM
Anggar tak mau berbohong pasal rumah besar Yauga yang indahnya bagaikan wajah Krystal kala disiram cahaya rembulan. Meski terkesan menyeramkan, tapi interiornya tertata rapi dengan warna-warna netral.
Udaranya nggak bikin paru-paru enek atau sumpek. Karena disini, tumbuh-tumbuhan hijau selalu diikut sertakan di setiap sudut ruangan. Terus ketambahan pula sama jendela-jendela yang menampilkan langsung senyuman surya, beuh cakep banget asli.
Iya, akhirnya Anggar jadi melakukan house tour dadakan juga. Takut sebenarnya dia tuh kalau Martha ngilang tiba-tiba di rumah segedhe gaban ini. 'Kan kurang elite rasanya jika Anggar mati gara-gara ususnya digunting dokter Lucy.
Saat tengah asik menikmati keindahan duniawi, Anggar dibuat salah fokus pada satu pintu kamar yang sedikit terbuka.
Nggak, Anggar nggak ngintip, kok. Mau jadi apa mata sipitnya kalau timbilan?
Tapi itu si Martha ngapain longak-longok disana kayak orang bego?!
Merasa diperhatikan, Martha menoleh ke arah Anggar lantas menunjukkan senyuman lebar. Tangannya melambai laju; mengisyaratkan si empu untuk mendekat ke arahnya.
"Nggak sopan ngintip-ngintip begitu! Ayo balik!"
"Sini dulu! Kamu harus liat pemandangan ini!" Martha segera menarik tangan Anggar hingga si sabit berdiri di sisinya. Sialan! Tubuh Martha memang tinggi, tapi kenapa tenaga Anggar yang berusaha menolak seakan belaian angin pagi?!
"Tuh! Liat!"
Anggar mendengus sambil mengikuti arah pandang si angsa. Dilihatnya sekeliling ruangan tersebut namun tak berhasil menemukan apa-apa. Sebatas tumpukan buku yang berjajar di rak-rak dan mungkin partikel debu yang beterbangan.
Tapi ketika nyaris mengalihkan arah pandang—
"What the hell is that?"
—punggung tak mulus seseorang yang terduduk di kursi roda sukses didapati sepasang maniknya. Persis seperti punggungnya. Bekas cambukan yang masih basah ataupun kering hampir memenuhi permukaan yang tampak sempit itu.
"Kalian ngapain? Ngintipin siapa?"
"AAAAAAA!"
Anggar terperanjat mendengar Martha yang mengumandangkan suara angsa tepat di telinga kanannya. Makanya secara nggak sadar, ia dorong tubuh jangkung si angsa sampai terjerembab.
Mas Yo yang berdiri di hadapan mereka menunjukkan kernyitan bingung. Belum lagi Mahesa dan Karya yang turut mematung.
Bukannya menolong, Anggar malah pasang ekspresi datar seakan makhluk tak berdosa. Ia melirik sebentar ke arah Martha lantas menggumam, "Suaramu kayak keledai. Berisik!"
"Jahat kamu, Mas! Dasar b*re**s*k!" Pekik Martha yang terkapar nanar di atas lantai.
"Bang, IIIA (13), 81?"
Dilempari pertanyaan seperti itu tak membuat Anggar gelagapan bagai iwak laut nyasar di darat. Pandangannya teralih ke arah Mahesa yang menanyainya. Ia kemudian menjawab santai, "Talium."
"IVA (14)?"
"Timbal."
"VII A?"
"Halogen; Fluor, Klorin, Bromin, Iodin, Astatin."
"Tikus, tikus apa yang kakinya dua?"
"Micky mouse."
"Bebek, bebek apa yang kakinya dua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Tonggak Nabastala
RandomPercaya atau tidak, dia sudah terlalu lama menetap.