xii

36 5 1
                                    

JUM'AT, XX, MEI

Sumpah. Demi buntelan iwak buntal, Anggar lebih memilih menginap di kamar Mahesa ketimbang dikintili makhluk jangkung sejenis Martha. Masalahnya Martha itu kayak lintah. Nemplok mulu terus ngisepin darah, kalau belum ditabur garam, ya nggak bakal pindah.

Bahkan sekalipun Anggar pergi ke rumah Yauga karena digeret paksa sama empunya, Martha keukuh ikut-ikutan.

Aduh, habislah ia jika dokter Lucy tau anaknya mulai mengambil langkah-langkah sesat.

Kemarin setelah dikurung di dalam kamar selama berhari-hari, Anggar tak kunjung diperbolehkan pulang.

Disekap istilah kerennya.

Sekedar makan saja, perawat yang mengantar. Bi Antari atau Pak Mamat tak jua menampakkan batang hidung.

Si sabit hampir lose hope kala itu. Tidak bisa berharap banyak sebab nyatanya, Anggar tak punya teman sebanyak dosa Artama.

Tapi Tuhan berbaik hati. Dia mengirimkan satu makhluknya yang memiliki kepintaran setara Albert Einstein untuk menolongnya keluar dari penjara berkedok rumah sakit itu.

Yauga. Ia mendatangi Anggar dengan segolok besar di antara tangan kasarnya lantas menghancurkan jendela kaca yang menjadi satu-satunya opsi jalan kabur di sana.

Dan sialnya, ketika detik-detik menegangkan tersebut terjadi, si mulut angsa muncul dramatis dari arah pintu utama. Martha berteriak kesetanan melihat Anggar yang bersimbah darah karena tak sengaja terkena pecahan beling.

Beruntung Mas Yo sigap menjejalkan mulut si empu menggunakan sapu tangan.

"Masih sakit, nggak? Dosisnya nggak bisa ditambah lagi soalnya. Takut overdosis." Ini suara Mas Yo yang menanyai Anggar. Kondisi si sabit tak stabil, masih sempoyongan sebetulnya. Terus ketambahan luka-luka di tangan kaki, Yauga jadi panik sendiri.

"Nggak, kok. Udah mendingan." Mas Yo mengangguk sekali lantas membereskan perlengkapan obat-obatan di meja.

Martha kemana?

Sama seperti reaksi Mahesa ketika pertama kali menapak di rumah sebesar mansion ini, Martha juga melangsungkan house tour dadakan dengan teman Astra sebagai tour guide-nya.

Berdoa saja si tour guide itu tak menampakkan diri. Bisa mati jantungan anak orang nanti.

"Kamu istirahat dulu. Tek beli makan siang sekalian kapas sama perban. Stok di rumah udah pada abis."

"Iku-

-nggak usah ikut. Kaki-kakimu lecet itu. Nanti Karya Esa juga kesini."

"Ngapain?"

"Kamu mau ditinggal berduaan sama Martha?"

Anggar menggeleng cepat. Ogah. Amit-amit. Ogah!

"Nah ya udah. Tuh di pojok sana ada kamar kosong, kamu bisa pakai. Pakaiannya juga masih lengkap di lemari semua." Setelah mengatakannya, Yauga melenggang pergi. Meninggalkan Anggar yang tercengang di tempat karena ditinggal begitu saja.

Maksudnya, heh! Apa Mas Yo nggak takut barang-barangnya dicolong Anggar? Kok santai banget beliau?

Ia menghela nafas.

Capek ya bergelut sama isi pikiran sendiri.

✧•✫☆✮☆✫•✧

Rumah kecil Karya, 11.03 AM

Ini belum jam pulang kerja. Tapi kaki Karya sudah menapak di rumah karena perutnya sakit bukan main meminta jatah makan. Mengingat seberantakan apa jadwal makannya tiga hari belakangan, Karya jadi pasrah. Bodoamat nasi basi, yang penting perutnya ada isi.

Sayang, semesta tak memberikan kehendak sama niatan si empu. Saat hendak mengambil piring di dapur, suara sang Ibu tiba-tiba terdengar menginterupsi sepasang kupingnya.

"Kamu kok udah pulang?"

Karya gelagapan.

"Kamu kemarin darimana aja? Kenapa Mahesa nggak kamu jemput? Dia jalan kaki kemarin, loh. Terus Dhea, dia katanya minta uang saku ke kamu, tapi kamu nggak ngasih? Kenapa?"

Loh? Pindah topiknya secepat ini?

Dhea adiknya Karya ngomong-ngomong.

Dan untuk Mahesa, ya begitulah. Mahesa tinggal bersama Karya selama Kakek Jung pergi keluar negri guna menyelesaikan urusannya yang ditinggal di zaman purbakala. Salahkan beliau yang meninggalkan pekerjaannya secara tiba-tiba bahkan tanpa surat resign sekalipun.

Kalau ditanya kenapa Mahesa tidak ikut, jawabannya adalah karena dia masih sekolah. Mahesa nggak mau ya ngulang satu tahun. Badan jangkung begitu kok. Malu lah!

"Kemarin 'kan aku bantu Mas Yo di rumahnya, Ibu yang suruh. Terus aku juga nggak lagi pegang uang, semua uangnya 'kan diambil Ibu pas aku gajian."

"Oh? Jadi kamu nyalahin Ibu? Begitu?"

"Enggak begit-

-terus apa?!"

Allahuakbar! Karya hampir memekik jika rasa sakit di perutnya tak kian memberontak. Dibentak, cuy. Alah-alah, nggak bahaya ta? Soalnya Salwa tak pernah marah-marah kepada Karya sampai membentak seperti ini. Paling mentok ya sebatas mengeluarkan kalimat bermajas ironi.

Iya, itu mentoknya.

"Ibu emang suruh kamu buat bantu di rumah Mas Yo. Tapi dalam artian ingat waktu! Seharusnya kamu tau diri. Pas udah waktunya Mahesa pulang, ya berhenti dulu. Apa kamu nggak kasihan pas lihat dia mukanya merah banget gara-gara pulang jalan kaki?"

Dan, Ibu nggak ngambil semua uang gajianmu. Seperempatnya masih Ibu simpan di lemari kamu! Tapi apa? Pas kemarin Ibu cek di sana, uangnya udah nggak ada. Kamu kemanakan?"

Karya menghela nafas pendek. Mencoba menetralkan sensasi terbakar di dada karena asam lambung yang kian naik ke kerongkongan.

"Kamu kemanakan Ibu tanya?!"

"N-nggak-

-itu uangmu. Masa kamu nggak tau? Yakali dicolong tuyul, nggak mungkin Karya."

"Stop ngerepotin orang lain, kalo kamu sendiri nggak mau direpotin. Makan yang ada aja. Nggak usah minta-minta ke Mahesa. Kamu nggak ada hak."

Setelahnya, Salwa pergi.

Karya menghela nafas, lagi. Selalu ini yang menjadi bahan pertengkaran di antara mereka. Jika bukan uang, pasti Mahesa atau Dhea. Lalu hari ini Karya mendapatkan jackpot-nya. Sungguh sial. Padahal ia hanya ingin memberi perutnya makan. Tapi justru, otaknya yang sekarang kenyang.

✧•✫☆✮☆✫•✧

TBC yerubunnn~~

Bun, still alive.

Ilusi Tonggak Nabastala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang