Tak seperti kebanyakan anak pada umumnya yang bermain-main dengan masa muda mereka, lain Anggar yang pekerjaan hariannya hanya belajar, belajar, lalu belajar sampai tumbang. Muak? Enggak, kok. Cuman sedikit setres. Sisanya siksaksok.
Semenjak kecil, Anggar tidak pernah menangis. Karena menangis membuatnya dibius sampai nyaris mati. Anggar tidak pernah membantah. Karena melawan membuatnya kesusahan menjalani hidup. Makanya, Anggar jadi sempat mengira bahwa dirinya mati rasa.
Dulu, saat operasi pembedahan kepala karena katanya harus membenarkan sel-sel pendengaran, Anggar terbaring di ruang operasi dalam kondisi sadar. Anestesi ditolak mentah oleh tubuhnya yang kala itu sempat mengejang.
Padahal, isoflurane* sudah dinaikkan hingga berkisar antara 0,5–7% untuk memulai anestesi. Pun ditambah midazolam* guna meningkatkan efek sedasi*. Tapi tetap saja, Anggar tetap terjaga.
Berakhir apa? Berakhir Anggar menyuntik dirinya sendiri menggunakan obat barbiturat* jenis pentobarbital* agar dapat terlelap.
Saat terbangun dari mimpi, Anggar langsung bisa merasakan efek sampingnya. Pandangannya menjadi buram utuh dengan sepasang kupingnya yang tak lagi bisa mendengar.
Syukur-syukur, neurotransmitter* yang ada di dalam tubuhnya tidak mengalami masalah apapun. Kalau di sana juga ada masalah, mungkin nama Anggar sudah tertulis di batu nisan.
"Kamu nggak papa?" Suara dari belah bibir Nenek itu sukses mengalihkan atensi Anggar. Ia lantas menggeleng, "Nggak papa."
Ngomong-ngomong Anggar sudah pindah kamar. Dirinya dihengkang Krystal begitu kedua orangtuanya sampai di kamar Nagen dengan dalih kesempitan buat ditinggali empat orang. Pendusta, cih.
Lalu, pasal Nenek.
Tadi ketika ingin tidur, Anggar kedatangan tamu tak diundang.
Nenek.
Wanita tua yang menjabat sebagai Ibu Artama itu mendadak muncul dari balik pintu. Tersenyum ramah, lalu menyapanya.
Walau Anggar tau, yang demikian hanyalah tipuan mata belaka.
"Mau sampai kapan pakai alat bantu dengar?"
"Belu—
—kamu nggak malu?"
Anggar tersenyum kecut.
Hahaha.... jadi ini alasan Nenek begitu effort untuk menemuinya.
'Cacat'
Seorang Pramoedya yang cacat.
"Sekolah pakai benda asing di telinga begitu, kamu nggak malu?" Yang lebih tua bersuara lagi. "Kalau Nenek sih malu."
"Sudah nilainya ambruladul, penampilannya berantakan, hidupnya apalagi. Seribet untaian benang merah."
Nah 'kan... lain dimuka, lain dihati.
Anggar menghela nafas seringan mungkin. Tidak ingin menyela atau membantah ucapan Nenek. Toh, begitu faktanya.
Anggar pintar, kok. Dia hanya pura-pura bodoh agar tidak terus dikekang dan diperlakukan selayak boneka oleh mereka yang sok-sok-an mengaku sebagai keluarganya itu.
Memangnya, keluarga macam apa yang mencambuk anaknya sendiri ketika nilai ulangan mereka berada di angka tujuh puluh delapan? Konyol.
"Nenek dengar-dengar, kamu bolos terapi beberapa bulan terakhir, ya?"
"Apa alasan kamu bolos?"
Bicara soal bolos, Anggar memang mengosongkan semua jadwal terapi mendengarnya tanpa izin dari siapapun. Alasannya?
"Nggak ada."
Buat apa juga dia sembuh jika semua orang-orang menginginkannya mati segera?
"Kamu nggak pengin sembuh? Pengin tuli selamanya?"
Anggar menggelengkan kepala.
"Terus? Apa alasannya kamu bertindak gegabah? Orang tua kamu sudah susah payah mencari pengobatan terbaik di Indonesia, dan begini balasanmu? Apa pantas?"
Kalo aku sembuh, apa hadiahnya? Boneka? Aku yang jadi bonekanya mereka? Begitu?
"Bicara Anggar. Tuhan menganugerahimu mulut untuk digunakan."
Si empu masih diam.
"Seenggaknya, kalau nggak bisa membanggakan kami secara nilai akademik maupun non-akademik, kamu nggak usah kebanyakan tingkah."
"Usiamu belum menginjak lima belas tahun. Dan coba lihat kekacauan apa saja yang sudah kamu buat? Sara pergi dikirim ke luar negri, karena ulahmu. Bahkan kondisi Nagen yang kritis pun, itu, masih ulahmu 'kan?"
"Sekarang Nenek tanya, gunamu hidup itu untuk apa?"
"Jangan berlagak seperti benalu yang nggak berguna, Nggar."
"Kamu diberi fisik yang sempurna sama Tuhan. Tapi sayangnya, kamu nggak mau berbagi satu diantara mereka cuman gara-gara alasan tabu begitu? Cih, dasar nggak tau diuntung."
"Angka presentase kematiannya sebatas 30%, ketimbang mati nggak berguna, ada baiknya kamu berbaik hati ke orang lain 'kan?"
Anggar jadi sakit hati. Meski cambukan di punggungnya dan jahitan di perutnya terasa jauh lebih sakit, tapi ucapan Nenek tadi berhasil menambah rasa nyerinya menjadi berkali-kali lipat.
Mati nggak berguna katanya?
"Secepat itu Nenek ngebuat kesimpulan? Emangnya Nenek pernah tanya, apa alasan aku selalu nolak untuk kasih hatiku ke Nagen? Pernah?" Anggar tanpa sadar bangkit dari duduknya. Dia menunduk dengan manik yang berderai; hendak menangis, tapi tak bisa.
"Aku punya kecacatan di bagian ginjal kiri, Nek."
Ia tidak tau lagi ingin berbicara apa ketika melihat keterkejutan pada bingkai Nenek yang mulai menua.
Ingat apa kata Karya? Sebodoh bodohnya ia, ia tak jauh lebih bodoh daripada Tapasya.
✧•✫☆✮☆✫•✧
TBC yerubunnn~~
.
.
.*Isoflurane adalah anestetik umum yang digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi selama prosedur bedah.
*Midazolam adalah benzodiazepine (sejenis obat penenang) yang berfungsi sebagai sedatif, mengurangi kecemasan dan memfasilitasi sedasi.
*Sedasi sendiri adalah penurunan kesadaran yang diinduksi obat untuk meminimalkan rasa sakit dan kecemasan selama prosedur medis.
*Barbiturat, seperti pentobarbital, adalah kelas obat yang digunakan untuk sedasi dan anestesi, bekerja dengan menekan aktivitas sistem saraf pusat.
*Neurotransmitter adalah senyawa kimia yang mengirimkan sinyal antar neuron, berperan penting dalam proses sedasi dan anestesi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Tonggak Nabastala
RandomPercaya atau tidak, dia sudah terlalu lama menetap.