XX April
Semalam suntuk Anggar terbaring lemah dengan keringat sebesar biji sawo yang mengucur deras dari jidat polosnya. Belum ketambahan bisik-bisik syaiton berkedok manusia yang terus meningkat pesat. Aduh, Anggar jadi tidak enak karena terus mengeluh dalam diam.
Niatnya pagi ini, Anggar akan langsung cus meluncur ke sekolah saja—mengabaikan kejadian semalam, Anggar teringat jelas kalimat tajam sang Kakek yang melaung begitu lantang di sepasang telinganya.
"Kalau kamu mau hidup, berjuang. Kalau kamu pengin mati, nggak usah berjuang. Dunia bukan tempatnya para pengemis jalanan, Nggar."
"Kamu beneran mau berangkat? Muka kamu masih kayak jalangkung urip loh, Nak. Apa nggak papa?"
Anggar hanya menggelengkan kepala.
Pak Mamat ikut menggeleng, tapi dalam artian heran. Anggar ini aneh. Dia tak pernah lagi berbicara semenjak kejadian semalam—ketika Pak Mamat menjumpai tubuh Anggar terkapar di lantai ruang tengah yang dibiarkan begitu saja.
Bukannya menolong, semua orang yang berada di sana justru memandang abai. Bahkan lupa kalau stok nyawa Anggar tersisa beberapa biji.
"Kamu pulang jam berapa nanti? Biar Bapak aja yang jemput. Pak Arta mau antar Den Nagen ke rumah sakit soalnya."
Bicara soal Nagen dan rumah sakit, iya. Anak itu penyakitan. Sirosis hati, stadium tiga. Apakah Pak Mamat kasihan? Tentu saja. Tapi bukan kepada Nagen, melainkan Anggar.
Diabaikan, didoakan cepat mati, dicambuki, dipalaki. Dibagian mana yang kurang coba?
Berbeda jauh dengan Nagen yang mendapatkan kasih sayang dari sang Raja dan Ratu, Anggar hanyalah pemeran utama yang diasingkan di pojok istana. Berlagak selayak pelayan yang tak lebih dari budak kerajaan.
"Aku nanti mau mampir."
"Ke rumah Kakek Jung?"
Anggar mengangguk.
"Perlu Bapak antar apa enggak?"
"Enggak usah, aku masih punya kaki."
Pak Mamat terkekeh mendengar jawaban yang kelewat datar itu. "Tek jemput habis maghrib tapi, ya? Pak Arta 'kan selalu pulang sebelum adzan isya. Nggak papa?"
Anggar mengangguk mengiyakan. Toh, daripada tulang rusuknya patah, lebih baik begini bukan?
"Nanti nebenk Karya aja kalau mau ke rumah Kakek Jung. Dia suka direpotin, kok. Jadi kamu nggak usah khawatir."
Lagi, lagi, Anggar menganggukkan kepalanya.
✧•✫☆✮☆✫•✧
Anggar POV
Sebetulnya aku agak gengsi buat minta tolong ke Karya. Dia ini anaknya sibuk—jadwal hariannya aja bisa sepadat jadwal artis papan atas. Tapi nyatanya, dia malah jemput aku.
Pas pulang, nggak tau gimana ceritanya dia udah berdiri di jejer pintu gerbang. Sepeda gantengnya juga ada, dan disambi ngobrol sama Pak satpam.
Sok akrab banget heran.
"EIY!"
"Jangan teriak-teriak."
"Muka kamu kusut banget, heh. Belum disetrika apa?"
"Jangan berisik. Ayo pulang."
"Minimal ini Pak satpamnya disapa dulu."
"Siang."
"Siang juga."
Canggung.
"Kaku banget kayak triplek."
Aku menggeleng minta pulang.
"Iya-iya. Ayo pulang, nggak usah nangis. Aku nggak punya uang lebih buat beli balon."
"Duluan, Pak. Have a nice days, ya. Senyumnya jangan dikasih kendor. Biar buk Janda di warung seberang nggak pindah hati ke duren sebelah."
Pengin tek jotos, tapi aku belum kuat lagi buat sekedar ngayuh pedal sepeda. Maka aku iyain. Terus duduk anteng di boncengan belakang.
"Pegangan, Nggar."
Nggak tek iyain.
Setelahnya meluncur.
"Kamu tau nggak, sih?"
"Nggak."
"Kemarin Mas Yo dateng ke warung, nyariin sepedanya."
"Terus?"
"Kemarin 'kan sepedanya dipenjem sama saya buat antar kamu ke rumah."
"Dia marah?"
"Nggak juga."
"Kamu ngomong apa?"
Gedeg banget.
"Kamu tuh jangan diem aja. Ngomong coba. Bapaknya Mas Yo bilang, kamu harus sering-sering ngomong biar pita suaranya nggak semakin lemah."
Bicara soal pita suara, sebetulnya itu nggak ada kaitannya sama sekali sama kecelakaan yang berakibat buruk ke kupingku.
Orang yang tuli pas dia udah bisa bicara lancar, ya dia nggak bakal bisu. Tapi kalau dia tuli sembarang lahir, barulah ada kemungkinan dia bisu.
Jadi, mustahil rasanya aku nggak bisa bicara apa-apa. Kecuali—kalau aku sendiri yang menolak semua ransangan suara dari luar, nggak mau pakai alat aneh ini, barulah aku bisa jadi tunawicara real.
Mudeng nggak?
"Hm."
"Ham-hem-ham-hem. Sejak kapan kamu suka logat om-om begitu?"
"Nggak tau."
"BUYA! ABANG!"
Aku melotot seketika. Baru sadar kalau ternyata, ini bukan rumah Kakek Jung ataupun warung. Melainkan—
"Ih.. tumben Abang ikut? Mau main yaaaa?"
—sekolah si sipit Mahesa.
"Jangan diganggu dulu Anggarnya, Sa. Dia lagi mode maung. Ganggu sikit, enyah kepalamu nanti." Si kaki-kaki sok akrab itu ketawa. Jangan ditanya Mahesa gimana. Dia kikikkikik sendiri sampai akhirnya nyempil di tengah sepeda.
Pukk
"Sakit abang!"
Protes pula si sipit itu tek gebuk kepalanya.
"Berisik."
✧•✫☆✮☆✫•✧
Agak tidak menyangka, karena selepas pulang, Anggar justru disambut oleh sang ayah yang duduk di ruang tamu. Tatapan matanya menyorot tajam; melayang hingga mendarat tepat di sepasang maniknya.
"Kemari, ayah ingin bicara."
Tidak ingin terkena masalah, Anggar menurut.
"Besok nggak usah ke sekolah. Kamu ikut ayah ke rumah sakit."
Anggar mengangguk cepat tanpa banyak bertanya.
Artama menghela nafas.
"Kamu darimana aja?"
"Rumah Kakek."
"Pulang sama siapa?"
"Pak Mamat."
"Sudah makan?"
Empunya mengangguk-angguk.
"Obatnya sudah diminum?"
"Iya."
Anggar buru-buru pamit ke kamar begitu Artama tak lagi mengajaknya berbicara. Jujur, ia muak. Setiap perbuatan baik dari ayahnya, harus dibayar dikemudian hari. Lihat saja, besok, dia pasti akan terluka—entah mental, atau fisiknya.
✧•✫☆✮☆✫•✧
TBC Yerubunnn~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilusi Tonggak Nabastala
De TodoPercaya atau tidak, dia sudah terlalu lama menetap.