xiv

44 7 0
                                    

JUM'AT, XX, MEI

Kediaman Yauga, 22.10 PM

"Aku mau tidur sama Anggar! Titik nggak pakai koma!"

"Bukan mahram kalian, heh! Jangan dikasih ding, Mas Yo. Nanti mereka peluk-peluk. Ih, najis!" Mahesa yang takut terkena cipratan dosa menyeletuk. Manik sipitnya dipaksa melotot kepada Martha.

Merasa diejek, empunya ikut-ikutan melotot, "Mending dong pelukan sama Anggar daripada sama makhluk aneh kayak kamu!"

"Apanya yang aneh? Makhluk ganteng begini kok dikata aneh? Mripatmu rusak, tuh!"

"Esa.. dijaga mulutnya."

"Nyebelin banget tuh makhluk, Buya. Rasa-rasanya pengin aku lempar ke empangnya kaki Wage. Mampus dicium iwak lele, mampus!"

"Mahesa."

"Apa, Buya?"

Karya menghela nafas letih.

"Gini, gini. Martha tidur di kamar tamu aja. Kita tidur di ruang tengah. Goleran. Aku punya kasur matras, kok." Mas Yo menengahi.

Pening juga kepalanya lama-lama mendengar jeritan dua curut selokan itu. Sungguh, kalau saja mood Mas Yo sedang tidak berada dalam batas normal, habis diusir mereka berdua dari rumahnya.

"Anggar gimana? Apa nggak papa tidur lesehan? Jahitannya belum kering banget." Yang satu ini suara Karya. Panik dia tuh saat melihat tangan si sabit dipeluk-peluk Marsha a.k.a Martha Mahesa.

Wajah Anggar nelangsa sekali, pun ketambahan rona cenderung pucat yang menghiasinya. Ingin menolong, tapi Karya takut kena grogot.

"Aku tidur di sofa aja. Toh sofanya juga lebar. Sayang nggak dipake."

Karya mengangguk-angguk saja.

"Saya pulang, ya. Nggak dibolehin nginep sama Ibu soalnya. Besok saya kesini lagi deh habis kerja. Janji!"

Mahesa yang mendengar sontak melepaskan pegangannya pada Anggar. Ia segera menghampiri Karya, menarik-narik tangannya sembari merengek selayak bocah yang tak mau ditinggal sang Ibu bekerja.

"Loh kok Buya nggak bilang-bilang mau pulang? Aku sama siapa?"

Sumpah, Martha pengin mukok. Mana cocok makhluk setinggi jalangkung begitu ngerengek-rengek? Jijik, hihhh.

"Itu 'kan ada Anggar, ada Mas Yo."

"Ih aku nggak disebut-sebut?!"—Martha yang terabaikan, pundung.

"Kalo kuntilanaknya muncul lagi, gimana?"

"Kamu hafal ayat kursi?"

Mahesa mengangguk.

"Al-mulk?

Ia mengangguk, lagi.

"An-nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas?"

Lagi lagi ia mengangguk.

"Nah, itu hafal. Nanti wudhu dulu kalau mau tidur. Dibaca semua hafalannya terus ditiup ke tangan dan diusap-usapin ke badan. Tek jamin, pasti bakalan sentosa tidurmu, Sa."

Itu ritual apaan? Pikir Martha bertanya-tanya. Selama ini, setiap kali mau tidur, Martha cuman bakal menggosok gigi, mencuci kaki, lalu mengucapkan kalimat terimakasih kepada Tuhan karena masih diberi kehidupan dan nikmat berupa sehat.

Setelahnya ya langsung ngleyep tanpa mikir apa-apa lagi.

Tapi kok itu tadi banyak banget? Emang selalu begitu atau gimana?

Ilusi Tonggak Nabastala Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang