2- Senja Yang Bersorak

3.7K 434 1.1K
                                    

"Kita hanya butuh duduk berdua, untuk bicara perihal rasa yang tidak tersampaikan kata."

Ada sebuah taman kecil di halaman gedung Polaris Entertainment, terlihat sederhana namun asri, ditumbuhi pohon-pohon rindang ditemani beberapa baris kursi yang menyebar keseluruh area taman, bahkan ada taman bermain kecil-kecilan juga. Dulunya, taman bermain kecil-kecilan itu sering dijadikan tempat Haikala mengasuh Miko saat sang anak ikut ke kantor, terkadang Jonathan juga ikut ke sana jika jam kerja sedang longgar. Mereka sering berbincang perihal pertumbuhan Miko, yang cepat sekali pandai berhitung, menghafal jenis-jenis dinosaurus, warna, nama orang, juga menghafal tokoh-tokoh animasi yang ia tonton.

Saat itu, Jonathan belum tahu alasan mengapa Miko sering bersama sang Ayah sepulang dari sekolah usia dini, sedangkan ibunya entah di mana. Entah berapa lama kecurangan itu berlangsung, Jonathan cukup lega karena ialah yang pertama kali tahu meski hatinya begitu terkoyak saat Haikala memintanya untuk merahasiakan kecurangan itu. Mengapa? Ia bertanya-tanya waktu itu. Heran dengan permintaan temannya. Sebanyak apapun Jonathan marah dan membodoh-bodohi mereka semua, tidak ada yang berubah.

Hari ini, dia ditemani Rendra untuk termenung di tempat ini, menyapa bayang-bayang Haikala yang pernah duduk bersamanya, sambil pura-pura tenang membiarkan istrinya bertemu laki-laki lain. Sabtu kali ini longgar sekali, tidak ada acara apapun, hanya pergi mengurus beberapa berkas iklan dan meeting kecil. Pukul lima sore, Jonathan dan Rendra sepakat untuk pulang bersama.

"Gue liat-liat skandal lo sama Ghea udah ilang dari sosial media," ucap Rendra sambil menatap tali sepatunya yang lepas. Sore yang mulai redup, Rendra kehilangan seluruh energinya bahkan untuk sesuatu yang sesederhana mengikat tali sepatu. Entahlah, meski hari ini begitu santai, pikirannya seperti terus bekerja keras. "Secepat itu ya orang-orang ninggalin sesuatu yang udah mereka campur adukkan. Kemarin, gimana ramenya mereka ngatain lo sama Ghea, chaos banget. Sekarang huru-haranya udah selesai, tapi buat lo sama Ghea-

"Udah jadi es cendol, Ren." Jonathan terkekeh, singkat. Setelah itu, ia menatap ke atas langit, jingga muda. Rasanya, tenang namun sedih, seperti Jonathan hari ini. "Yang udah terlanjur dicampurin ga bakal balik jadi seperti sediakala."

"Menurut lu yang salah di sini siapa?" Rendra bertanya. Lalu, Jonathan menautkan alisnya skeptis.

"Lu masih nanya?"

"Gue cuma mau liat dari sudut pandang lo."

"Gabriel lah! Dia yang bikin onar."

"Maksud gue-

"Oh ya sama Pak Rangga," sela Jonathan membuat Rendra langsung merengut. "Terlalu gila duit."

Sekonyong-konyong Rendra menghela napas, ia tatap Jonathan sambil menahan perasaan resahnya beberapa waktu. Ya, Jonathan masih seperti dulu, tidak ingin disalahkan. Meski entahlah jika ia sedang sendirian, entah berapa banyak maki yang ia lontarkan untuk diri sendiri. Disibukkan mengurus Luna yang sakit membuat waktu Rendra begitu sedikit untuk sekedar berbagi cerita dengan Jonathan. Apa yang terjadi, bagaimana keadaannya, adakah yang memberinya solusi? Rendra tidak tahu.

Yang ia tahu, Jonathan tetaplah Jonathan yang begitu apa adanya. Bermulut petasan, suka memutus ucapan orang, senang mengembara. Namun sepertinya, Jonathan lupa bahwa temannya ini sangat peka terhadap hal-hal remeh, seremeh Jonathan yang mulai gemar melamun, entah masalah hati, pekerjaan, atau yang tak pernah Rendra dengar lagi, keluarga. Mungkin jika dikumpulkan, Rendra bisa melihat segunung masalah di depan matanya, milik Jonathan seorang.

"Lo tau, Jo-" Rendra menjeda kalimatnya, mendekatkan jarak duduknya dengan Jonathan, lalu meletakkan telapak tangannya di atas paha. "kayanya gue nggak bakal kuat kalau harus gantiin lo buat mikul beban sebanyak ini."

5. Bintang Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang