5- Bunga Tumbuh Di Tengah Hutan

2.4K 332 1K
                                    

"Aku ingin menjadi pengembara dunia. Sial aku hanya sebuah bunga yang tumbuh di tengah hutan belantara."

Patah hati karena akan ditinggal menikah dengan pujaan hati saja belum mengering. Hati Jonathan masih begitu risau, tapi tak punya kendali apapun untuk mengusaikan kerisauan itu. Sekeras apapun Jonathan meminta Sandra memilih dirinya, semua tidak berguna. Sandra bukan miliknya sejak awal, keadaan terus dibombardir dengan kenyataan itu. Ah, sial. Satu bulan sungguh singkat untuk membuat Sandra memilih dirinya, sedangkan undangan sudah mulai disebar.

Perihal cinta tak sampai, belum usai. Kini Jonathan harus sibuk mengurus beberapa urusan kantor, pekerjaan bahkan Ghea yang harusnya sudah tidak memiliki urusan apapun dengannya, namun sialan sekali laki-laki bernama Gabriel itu—entah mengapa dia membuat keadaan keruh ini.

"Nggak jadi nanya sama Ghea?" Rendra bertanya saat melihat Jonathan terpekur lagi dan lagi di atas sofa—di rumah Rendra—sendirian. "Tadi malem lo pamit mau ke rumah dia, kan? Dia nggak mau tes DNA, kah?"

"Gue belum ngomong apa-apa, Ren." Jo melirik Rendra yang baru saja meletakkan es jeruk buatannya ke atas meja. Dibanding malam itu, hari ini semua orang mulai terbiasa dengan situasi Jonathan, termasuk Rendra. Tidak lagi ada emosi yang sibuk dikurung, menjadi dewasa membuat mereka lebih cepat akrab dengan keadaan. "Menurut lo, kalau misalnya Ghea hamil anak gue seperti yang dibilang Gabriel itu, kenapa dia nggak minta tanggung jawab ya? Gue nggak miskin-miskin amat kan untuk urusan nyiapin uang denda misalnya. Atau soal wajah."

Jonathan melirik Rendra beberapa saat. Yang dilirik hanya mengangkat alis tidak mengerti. "Wajah gue ini udah pernah bikin cewek satu geng sampe berantem karena ngerebutin gue, loh. Gue ganteng gini, nggak mungkin kan dia nggak mau bilang apa yang terjadi cuma karena gue jelek? Emang ada kata jelek di kamus Jonathan?"

Sialan, Rendra ingin sekali memukul wajah itu dengan bantal sofa. Tapi nyatanya, Jonathan memang tampan. Rendra juga menjadi saksi bagaimana beberapa perempuan dengan terang-terangan menyatakan cinta kepada laki-laki itu. Sampai hari ini, mungkin sudah lebih banyak orang yang terperangkap dengan wajah tampan Jonathan, terduduk bersimpuh meminta cintanya dibalas. Atau, sekadar menjadi teman bermalam, sesederhana itu pinta mereka kepada Jonathan. Seolah-olah wajah itu adalah pahatan sempurna yang antik, semua orang berburu ingin mencicipi setidaknya sekali seumur hidup.

"Kenapa ya?" Jonathan terus bertanya. Selama ini, dia jelas kebingungan. Sudah berapa banyak perempuan datang padanya meminta pertanggung jawaban? Entahlah. Mungkin ada lima—atau lebih. Mereka mengadu hamil setelah bermalam dengan Jonathan, tapi nyatanya tidak begitu. Jonathan bahkan berani pergi ke rumah sakit untuk test DNA agar semuanya jelas, dan hari ini dia juga akan melakukan test dengan apa yang terjadi kepada Ghea. Perempuan itu—sungguh bukan sembarang perempuan.

Beberapa menit yang diselingi sesapan segar es jeruk buatan Rendra, keduanya masih saling berbincang ringan setidaknya untuk mencari-cari keterangan. Meski lebih banyak diisi helaan napas berat Jonathan dan nyanyian lirih Rendra, suasana rumah itu lengang alih-alih riuh.

Pukul empat sore yang mulai redup, suara pintu diketuk.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab keduanya bersamaan. Lalu, Rendra bangkit untuk membuka pintu.

"Gimana?" Rendra bertanya kepada Cakra setelah pintu terbuka. Laki-laki di hadapannya tengah sibuk memposisikan kursi roda yang diduduki Luna saat Rendra bertanya.

"Aman kok, bulan depan udah nggak perlu pake sanggahan dada lagi."

"Aku tadi latihan pernapasan Ko, dapet hadiah juga dari Dokter, permen." Luna tampak bersemangat meski harus sambil duduk di kursi roda. Selama ini, pasti berat untuknya yang senang bergerak bebas namun kini tak punya ruang gerak yang cukup. "Liat, dapat tiga."

5. Bintang Senja [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang