"Senja kala itu. Bintang dan bulan sabit bersinar menjelang petang. Menunggu malam, menunggu langit berubah menjadi dingin dan mereka berpelukan mencari-cari hangat."
Jalan yang panjang, lengang, jarang dilewati kendaraan. Inilah pemandangan yang beberapa waktu terus Jonathan temukan. Di antara pohon-pohon besar, sebuah rumah tua bertingkat dengan pagar setinggi bahu orang dewasa tampak setua atap rumah yang kehilangan warna. Tidak jauh dari sana, ratusan raga diistirahatkan, termasuk raga Haikala.
Ah, sudah lama Jonathan tidak mengunjungi bocah itu. Ia masih terlalu takut datang dengan luka-luka di tangannya yang belum juga sembuh. Setiap kali ingin bertandang, nyalinya ciut. Ia berakhir terpekur di pinggir jalan dari menit hingga jam, lalu pergi tanpa turun dari motor.
"Cari siapa?" Seorang laki-laki muncul dari balik pagar rumah tua dan menegur Jonathan. Laki-laki yang masih memakai helm fullface tersebut akhirnya melepas benda itu dari kepalanya.
"Cari Ghea, orangnya ada?"
Jonathan tahu laki-laki dengan seragam sekolah yang belum diganti itu adalah adik sulung Ghea, namanya Sean. Ghea masih punya satu adik lagi bernama Daniel, bungsu. Jonathan cukup tau perihal keluarga Ghea mengingat data karyawan di perusahaan yang sudah ia baca. Ghea memiliki ayah yang tengah menjalani hukuman di penjara dengan kasus korupsi, sedangkan ibunya sudah meninggal dunia sejak Daniel berumur satu tahun.
Dengan wajah tak bersahabat, Sean menoleh kepada Jonathan. "Orangnya pergi, nggak ada di rumah," katanya ketus.
"Ke mana?"
"Kerj—
"Nggak ada di kantor, tuh." Jonathan menginterupsi, Sean langsung menyandarkam tubuhnya pada pintu pagar. "Gue rekan kerja, Ghea."
Sean tidak tampak terkejut, wajahnya masih ketus dan tak bersahabat, wajar karena Jonathan bukan siapa-siapa, apalagi penampilannya yang urak-urakan, hanya pakai kaos hitam dengan leather jacket sebagai pelengkap, ripped jeans dan sepatu kasual. Tidak ada secercah warna lain selain hitam, wajar Sean merasakan aura tidak biasa, aura kejahatan.
"Nggak nanya. Kalau butuh apa-apa telepon aja, nggak usah nunggu di depan rumah kaya satpam." Sean bergerak hendak menutup kembali pintu pagar, tapi Jonathan menahannya. Ia tatap Sean yang sempat melayangkan tatapan berang, namun Jonathan tidak sekalipun menganggap anak muda itu serius. "Apa?"
"Emang sopan, lagi diajak ngomong, tiba-tiba pergi?"
"Abang juga nggak sopan dateng-dateng langsung nanya Kak Ghea, bukan ucap salam. Sekarang kita impas, gue mau masuk."
"Bentar--
"Apa?!"
Jonathan sempat mundur beberapa langkah saat Sean menambah volume suaranya. Ketahuilah, wajahnya saja sudah bikin muak, apalagi jika ditambah suara yang naik beberapa oktaf. Mungkin Jonathan sudah memukul kepala bocah itu jika mereka akrab.
"Apa? Cepet bilang."
"Kakak lo sering sakit akhir-akhir ini. Tolong perhatikan obat dan makanannya."
"Nggak perlu minta tolong juga udah gue lakukan. Cuma mau bilang itu?"
"Satu lagi." Jonathan memangkas jarak. "Gue mau nanya. Ghea sering muntah-muntah gitu nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
5. Bintang Senja [END]
RomansaBAGIAN KELIMA 'Semesta dan rumahnya' "Akulah bintang senja yang bersinar paling terang, namun tak bisa melihat cahayaku sendiri." Bahkan, seindah rupa pun tak bisa menjamin manusia bahagia, seperti Jonathan. Dia tak peduli dengan kata 'tampan' yang...