"Kemarahan kerap kali membakar yang tenang alih-alih yang berisik, lalu hangus menjadi debu."
Ada banyak alasan mengapa Jinan pilih mengabaikan pesan-pesan Jonathan yang semakin hari semakin menggunung itu, meski tak satu pun ia lontarkan pada yang bersangkutan. Sepertinya, dia sudah banyak kehilangan energi padahal tak banyak bereaksi, kepalanya sakit dan pikirannya berantakan. Sejak kabar skandal itu tersiar, melihat Jonathan rasanya ingin menghancurkan dunia.
Bukankah ini karma? Jinan pernah menyumpahinya di suatu hari, saking ia kesalnya. Pada hari itu, ia melihat kolom berita yang diisi banyak komentar jahat, benar-benar penuh makian. Kepada Jonathan yang menjadi tersangka, dan kepada Ghea yang diduga menghalalkan berbagai macam cara untuk uang dan ketenaran.
Tapi tahukah semua orang? Ghea tidak akan berada di sana jika Jonathan tidak mendesaknya. Tidakkah mereka terlalu cepat menghakimi tanpa tahu kebenaran? semua orang menelan berita mentah-mentah.
"Alhamdulillah dateng juga si bontot, masuk-masuk." Suara Rendra yang pertama kali menyambut sesampainya ia di rumah Mahesa. Sambil mencangklongkan tas ransel yang melorot, Jinan mengambil langkah untuk bergabung di ruang tamu.
Ada berbagai macam snack di meja, minum kaleng, jeli kesukaan Jonathan, roti keju kesukaan Jinan—dengan merk yang sering ia beli, juga risol mayo buatan Kara. Di meja makan, sudah ada beberapa mangkok mi ayam yang sudah siap dinikmati, namun tertunda karena Jinan belum juga sampai. Helena ada di dapur, sibuk mengurus kuah mi ayam sambil membereskan peralatan masak yang baru ia pakai, bersama sang suami yang baru saja meninggalkan wastafel setelah cuci piring, berjalan menghampiri Jinan.
"Duduk dulu, Nan. Mi ayamnya belum dikuahin kok." Mahesa membawa Jinan duduk di sebelah Cakra, yang kebetulan sibuk bermain game sejak ia sampai. "Ada roti keju kesukaan lo nih. Bang Jo yang beliin."
Awalnya, Jinan berniat untuk menikmati makanan itu sebelum tau kalau Jonathan yang membeli. Entahlah, rasanya ia kehilangan minat pada roti tak berdosa itu saat tau kalau Jonathan yang membelinya.
"Semua udah kumpul nih, bisa kita mulai sekarang, kan?"
"Bisa-bisa," jawab Rendra sambil mencomot roti keju dan melahapnya tanpa merasa bersalah.
Entah bagaimana bisa kecanggungan ini terjadi. Sungguh, tak pernah terpikirkan oleh Jinan kalau ia akan bertemu lagi dengan suasana seperti orang asing, bahkan kepada teman yang layaknya keluarga. Cakra yang biasanya berisik, masih acuh tak acuh. Juga Jonathan yang paling bisa mencairkan suasana selain Haikala di persahabatan ini, juga tak punya nyali untuk bersuara. Jinan tak bisa berharap lebih pada Narda yang dingin, Rendra yang menjaga batasan, Bang Mahesa yang tenang seperti air danau.
"Mulai dari Cakra dulu ya," pinta Mahesa kepada Cakra, namun laki-laki yang namanya disebutkan malah menghela napas berat. "Ayo, sampaikan uneg-uneg lo, Kra."
"Nggak ada yang mau gue sampein," kata Cakra lalu duduk bersandar pada sofa. "Tadi udah diwakilin Jinan di grup chat."
"Itu cuma sedikit, sekarang dijabarin lagi ya."
"Males, lagian intinya tetep sama, kan?"
Oh, jangan pernah heran dengan Cakra yang tak bisa diajak kompromi seperti ini. Sebab dia memang terlahir untuk membantah banyak orang.
Sambil mencoba tenang, Mahesa melirik Jinan yang baru saja meletakkan tas ranselnya di lantai, bersandar pada sofa. "Jinan?"
Mahesa coba menatap dua nayanika Jinan yang sibuk menghindari semua tatapan orang di sekelilingnya. Begitu asing suasana ini, tidak ada hangat kecuali kecanggungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
5. Bintang Senja [END]
Storie d'amoreBAGIAN KELIMA 'Semesta dan rumahnya' "Akulah bintang senja yang bersinar paling terang, namun tak bisa melihat cahayaku sendiri." Bahkan, seindah rupa pun tak bisa menjamin manusia bahagia, seperti Jonathan. Dia tak peduli dengan kata 'tampan' yang...