"Terkadang, kita kewalahan. Bertahan untuk seseorang yang kita cintai hanya karena merasa tak sempurna."
Ada banyak kursi berbaris di ruang tunggu, dipenuhi orang-orang mengantre berobat. Beberapa masih terlihat bugar seperti tidak sakit sama sekali, beberapa lainnya tampak pucat dan kehilangan tenaga untuk sekedar duduk tegap atau bahkan bernapas dengan normal. Berbagai macam jenis penyakit bersatu padu di tempat ini, suara-suara panggilan pasien pun tak henti diumumkan. Jika penyakit-penyakit itu bisa saling bercerita, mungkin mereka akan saling beradu nasib. Entah tentang bagaimana tuannya lalai hingga sakit yang diderita semakin parah, atau tentang bagaimana cara mereka tinggal di tubuh itu. Pada tubuh yang sudah tua renta, anak-anak yang naif, atau bahkan muda-mudi yang harusnya sibuk mengejar mimpi mereka, tidak di sini untuk mempertahankan hidup.
Dari banyaknya sudut ruang yang ada, sebuah ruang dengan nama 'Krisan' begitu berisik dengan isakan tangis sejak beberapa menit yang lalu. Kemudian, Sandra tampak keluar dari kamar itu, melepas masker yang ia kenakan lalu melangkah keluar dengan tergesa-gesa.
"Bu, ruang operasinya sudah siap." Seseorang datang menghampiri saat Sandra baru saja menyusuri koridor. "Pasien udah siap bel-
"Nggak jadi, Sal. Pasiennya meninggal. Kamu tolong buat laporannya ya."
Saat seseorang yang dipanggil 'Sal' tersebut menoleh ke jas yang Sandra kenakan, setengah dari kain berwarna putih tersebut penuh bercak darah.
"Bu-
"Pasien masih ditangani Bu Rami, beliau masih bersihin tubuh pasien sebelum diantar ke rumah duka. Kamu bantu-bantu dulu ya, Sal. Saya mau bersih-bersih."
"Baik, Bu."
Seketika mereka berpisah dengan sama buru-buru, Sandra pun sudah tak sanggup mencium bau amis darah yang memenuhi setengah jas yang ia kenakan.
"Bu Sandra."
Lagi, seseorang memanggil. Meski lagi-lagi ia ditahan orang lain padahal kesabaran Sandra sudah begitu tipis, perempuan itu dengan perlahan menoleh sambil mengatur napas, berusaha untuk tetap tenang.
"Kenapa, Lan?"
"Ada tamu, tadi saya suruh tunggu di ruangan Ibu aja."
"Saya hari ini nggak ada jadwal konsultasi. Atas nama siapa?"
"Jonathan Nathaniel."
Sandra melanjutkan langkah setelah ucapkan terima kasih, kali ini lebih cepat dari sebelumnya.
Beberapa detik kemudian, pintu di buka dari luar. Jonathan yang sudah mulai bosan akhirnya berdiri setelah menemukan Sandra muncul, sedikit panik karena melihat begitu banyak darah di jas yang Sandra kenakan.
"Why?" Dia langsung bertanya.
"Pasien pendarahan. Gue bersih-bersih dulu ya."
"Eum." Jonathan menurut lalu duduk kembali di sofa.
Setelah kepergian Sandra, Jonathan melanjutkan lamunannya sambil mencoba menebak-nebak apa yang terjadi. Suara berisik dari kamar mandi begitu ia nanti untuk segera tenang meski ia tahu bahwa seseorang baru saja masuk ke sana, ia memilin jarinya yang masih menyisakan beberapa plester, sedikit gugup karena ia sudah lama sekali tidak datang menemui Sandra setelah sibuk mengurus banyak masalah.
Sepuluh menit yang terasa seperti seminggu, Sandra muncul dengan kemeja biru pastel dan celana longgar, melangkah dekati Jonathan lalu duduk di seberang meja.
"Tumben," ucap Sandra kemudian, heran dengan kedatangan Jonathan yang selalu sulit ia prediksi. Ya, laki-laki itu terkadang hanya datang tanpa keluhan alias hanya ingin. Ingin bertemu Sandra. "Tangan lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
5. Bintang Senja [END]
RomanceBAGIAN KELIMA 'Semesta dan rumahnya' "Akulah bintang senja yang bersinar paling terang, namun tak bisa melihat cahayaku sendiri." Bahkan, seindah rupa pun tak bisa menjamin manusia bahagia, seperti Jonathan. Dia tak peduli dengan kata 'tampan' yang...