"Kamu adalah bumi yang aku pijak. Tanpamu? Langkahku bahkan tak tahu tujuan."
Di hari Khamis yang manis, langit cerah dengan sedikit awan samar berserakan di langit, membentuk pola membingungkan, namun tenang. Biru yang semu membentang begitu luas hingga tak terhingga, meski udara Jakarta sedikit mengikis ronanya. Ada banyak suara percakapan terdengar alih-alih nyanyian burung yang berlalu lalang. Tak apa, Cakra tetap merasa tenang. Pikirannya tak seberantakan saat ia di kantor terakhir kali, ditambah sebuah kecupan di pipi ia dapatkan dari Luna tadi pagi. Rasanya, Cakra tak lagi bisa menyembunyikan gurat bahagianya sejak sampai di kantor.
Beberapa orang yang melewatinya, bahkan sempat bertanya. Aneh karena Cakra bukan seorang laki-laki yang suka berjalan sambil menebar senyum sumringah, beda jauh dengan Jonathan dan Rendra yang suka mengobral senyumnya dengan harga murah, bahkan gratis.
"Eh, Bang Cakra. Masih pagi udah cerah aja bawaannya. Ganteng banget." Nah, kira-kira seperti itu kalimat yang Cakra dengar sejak ia sampai di kantor. Mulai dari ia turun dari mobil dan bertemu rekan dari divisi lain, melewati satpam di pintu utama, dan sekarang saat berhadap-hadapan dengan Sekala. "Bang Jo masih sakit ya?"
"Masihlah, liat sendiri lu gimana babak belurnya dia kemarin." Cakra duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja berbentuk oval, tempat di mana orang-orang biasa melakukan rapat.
"Emang beneran itu Adeknya Kak Ghea, Bang?"
"Ya lu kan juga liat sendiri gimana Kakaknya nangis sambil meluk Adeknya."
Sekala langsung menggaruk tengkuknya sambil tersenyum canggung. "Iyasih, gue liat semuanya."
"Nah." Cakra hanya geleng-geleng kepala. "Btw kemarin katanya Pak Sanjaya nitipin berkas iklan baru ke lo. Mana? Sini gue cek."
"Ketinggalan."
"Ambil."
"Ketinggalan di mobil van, mobilnya hari ini dipinjem timnya Bang Rendra."
Cakra mendengkus kasar sambil menatap Sekala kesal. Jika bisa ia tempeleng kepala Sekala, sudah ia tempeleng sejak bocah itu muncul. Sayang Cakra masih ingat kontraknya sebagai Manager pendamping.
"Tapi kalau mau minta salinannya kayanya sih masih ada sama Pak Sanjaya, Bang. Gue minta dulu, kali ya?"
"Gue aja, lo balik latihan."
Cakra langsung bangkit dari kursi dan melangkah keluar tanpa basa basi. Sebagai seorang Manager pendamping, Cakra memang tidak sepenuhnya dituntut untuk selalu tegas, dia bisa bekerja lebih santai dengan anak didiknya. Cakra masih sangat tenang sebelum bertemu Sekala, tapi bocah itu datang dengan berbagai pertanyaan tak bermutu. Kalau boleh jujur, itu sudah cukup untuk mendistraksi Cakra dengan perasaan dongkol. Oh ayolah, Cakra. Ingat lagi kecupan Luna supaya tenang.
"Bang, gue boleh keluar bentar nggak beli camilan di mini market sebrang?"
"Sepuluh menit."
"Yesss!" Meski tidak melihatnya langsung, Cakra sudah bisa membayangkan betapa bahagianya Sekala diperbolehkan pergi keluar di jam latihan seperti ini. Kapan lagi dapat pembimbing yang pengertian?
Cakra baru saja masuk ke lift dan hanya sendirian. Setelah menekan tombol dengan nomor 4, ia membuka ponsel. Ia balas beberapa pesan dari Luna dan Rendra paling utama. Bahkan pesan mereka berdua ia sematkan di paling atas.
Semua terasa begitu normal sejauh ini, itu yang Cakra rasakan. Kehidupan yang seperti ini sudah lebih dari cukup. Saat seseorang merasa tak punya masalah besar, sudah bisa disebut tenang. Tenang bisa diartikan bahagia, sebab ia adalah bagian yang saling mengisi. Sesederhana itu mungkin garis besarnya. Sampai akhirnya pintu lift terbuka dan Cakra keluar dari lift, ketenangan itu hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
5. Bintang Senja [END]
RomanceBAGIAN KELIMA 'Semesta dan rumahnya' "Akulah bintang senja yang bersinar paling terang, namun tak bisa melihat cahayaku sendiri." Bahkan, seindah rupa pun tak bisa menjamin manusia bahagia, seperti Jonathan. Dia tak peduli dengan kata 'tampan' yang...