Bagian 1: Ujung Tanduk

360 49 6
                                    

Keijō (Seoul), September, 1909.
─────────

“Ayah, aku berangkat dulu, ya!” Pekiknya semangat di depan pintu rumah. Melambaikan tangan tinggi-tinggi agar raih atensi lebih dari yang dipanggil. Kedua netranya terkunci lembut pada seorang lelaki paruh baya yang tengah sibuk layani pelanggan.

“Oh? Sudah sarapan?” Begitu tanya ayah.

“Sudah! Kan tadi ayah yang buatkan sarapan. Nasi goreng kimchi lengkap dengan telur! Dasar ayah pelupa,” Soobin sengaja untuk agak menggerutu secara main-main di akhir kalimat.

Ayah tertawa ringan, kedua tangannya baru saja meletakkan dua mangkuk gukbap yang mengepul di meja pelanggan bagian luar kedai. Soobin dapat lihat bagaimana kedua pelanggan di meja kompak anggukan kepala sembari ucapkan terima kasih. Dibalas oleh ayahnya dengan senyum yang tak kalah manis.

“Hei, Bocah. Kau tak mau cium ayahmu dulu sebagai salam pagi?”

Soobin berdecak, tapi kedua kakinya tetap melangkah menuju kedai makan ayahnya yang tepat berada di seberang rumah. Tidak besar, baik rumah maupun kedai mereka. Jalanan kecil yang selalu ramai ini pun jadi pemandangan keseharian Soobin. Banyak anak tanpa alas kaki yang sudah sibuk bermain. Maupun mereka yang tengah digandeng oleh ibu masing-masing, biasanya baru pulang dari pasar. Tak jarang para siswa-siswi juga akan lewat berjalan kaki maupun menaiki sepeda, bersenda gurau dengan kawan. Juga para pria yang berangkat kerja, berusaha mengumpulkan uang demi beras untuk keluarga.

Soobin agak berjinjit untuk mengecup pipi kanan ayahnya. Lelaki itu secara main-main memutar bola matanya malas karena melihat senyum sumringah ayah yang tengah menyenderkan bahu di pinggir pintu. Soobin merengut ketika mendapati beberapa pelanggan terkikik di tempat. Bisa ditebak, mereka pasti berpikir bahwa pria dewasa seperti Soobin yang mencium pipi ayahnya sendiri adalah hal yang cukup tabu, atau bahkan memalukan. Tetapi tatkala Soobin mendapati deretan gigi ayahnya yang manis, senyum simpulnya tak bisa tertahan lagi. Lesung pipi di kedua sisi muncul dengan elok.

“Hati-hati di jalan, hati-hati dalam pekerjaanmu, hati-hati juga kalau ada yang menggodamu di jalan. Pukul saja wajah mereka kalau itu terjadi!”

Soobin terkikik. Tangan kanannya terangkat menuju pelipis, memberikan hormat selayaknya peleton kepada komandan mereka, “Siap laksanakan, Pak! Kalau begitu, saya undur diri terlebih dahulu, Komandan!”

Dengan usapan lembut di rambutnya dari sang ayah, Soobin angkat kaki. Membetulkan posisi tas selempang di pundak, ia mulai berjalan menuju kantor. Ah, sebenernya bukan ke kantor. Kali ini ia ada agenda untuk mewawancarai salah seorang saudagar kaya raya di kota mereka. Seorang saudagar yang akhir-akhir ini berhasil menarik perhatian masyarakat kota. Mengagetkan banyak orang karena dua hal, ia sukses di umur yang muda, dan para wanita sibuk bergunjing pasal tampang rupawan si kaya raya. Bayangkan saja, ia baru berumur tiga tahun lebih tua dari Soobin, tapi telah berhasil menjadi direktur bank kota sekaligus pemilik bisnis tekstil dan perhiasan. Soobin dengar-dengar juga dari orang-orang, bahwa kain dan perhiasan buatannya sampai ramai dipesan oleh negara tetangga. Astaga, Soobin tiba-tiba saja merasa gagal menjadi manusia. Sangat kontras jika dibandingkan dengan dirinya. Seorang wartawan baru di perusahaan koran kota dengan gaji yang hanya cukup digunakan untuk makan sehari-hari.

Intinya, begitu banyak orang-orang yang bertanya kiat-kiat sukses si saudagar. Tentu saja dengan otak jurnalisnya, Soobin cepat-cepat memutuskan untuk meliput secuil kehidupan beliau. Ada peluang besar di depan mata, mengapa pula harus Soobin lepas? Karena sungguh, sekarang ia memang perlu untuk mengesankan atasannya secepat mungkin. Uang tidak bisa datang dengan sendirinya, dan Soobin harus bekerja makin lembur untuk tambahan receh demi receh. Hari ini adalah hari yang penting untuk itu. Soobin masih ingat betul bagaimana ia harus menunggu hampir dua bulan lamanya agar sekretaris si orang kaya ini bisa mengosongkan jadwal majikannya. Dasar orang kaya, mereka sibuk bukan kepayang.

Sayap Pena | YeonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang