Bagian 10: Tiga Clovis

243 34 22
                                    

Tempat dan waktu tidak diketahui.
─────────

Jantung Soobin rasanya akan meledak kapan saja, gugup bukan main. Ia berjalan di sepanjang lorong dengan baik—terima kasih ia ucapkan pada Nyonya Adelyn—dan posisinya diapit oleh Sekretaris Ryu serta Direktur Choi. Ketiganya tak layangkan percakapan sedikit pun, membiarkan perjalanan kali ini hanya diisi oleh suara samar denting pedang yang saling beradu. Sesekali si manis juga dapat mendengar teriakan yang bersahutan, jelas berasal dari para murid yang tengah berlatih di lapangan arena berpedang.

Oh iya, omong-omong, sedari tadi Soobin tak bisa untuk tak melongo di sepanjang perjalanan. Kediaman keluarga Direktur Choi sungguh menakjubkan. Daripada rumah kediaman, tempat ini jelas lebih cocok disebut sebagai sebuah kastil megah. Besar bukan main, dengan arsitektur rumit yang menyeluruh. Si wartawan berhasil dibuat menggerutu diam-diam karena sudah sepuluh menit mereka berjalan, tetapi tungkainya tak kunjung sampai tujuan. Ia bertanya-tanya, kalau kediaman panglima kerajaan saja sebesar ini, lalu bagaimana dengan kediaman raja itu sendiri? Astaga, pasti pening rasanya apabila ia darurat ingin buang air dan perlu mencari kamar mandi di tempat macam ini.

Di depan sana, akhirnya kedua netra Soobin dapat menangkap keseluruhan lapangan berpedang. Puluhan murid tengah sibuk mengayunkan tubuh serta pedang kayu dengan gaya sinkron. Beberapa orang berseragam mondar-mandir di antara barisan, mengumandangkan perintah demi perintah dengan gaya lantang. Sesekali pula mereka akan memukul pantat para murid sampai munculkan ringisan dari empunya, membenarkan gerakan dengan mengomel garang. Di antara puluhan kepala di sana, ada satu yang eksistensinya nampak terlalu menarik perhatian. Berdiri tegap dengan kedua tangan di belakang punggung, sebagian rambut hitamnya telah tercampur oleh warna abu-abu. Serta yang paling mencolok, pupil merah darah di sana, secara awas perhatikan jalannya pelatihan.

“Sungguhan datang rupanya kau, Dan.”

Mereka berhenti tak jauh dari si pupil merah. Fokus si pria tua bahkan tak beralih, tak perlu repot-repot untuk menoleh ke lawan bicara. Ia mengenakan seragam warna putih bersih, dengan deretan emblem berkilau yang menghiasi bagian dada, juga lima lencana bintang di masing-masing pundak kanan dan kiri. Sebuah pedang yang tak kalah berkilau bertengger apik di pinggang.

Itu dia, si panglima kerajaan.

Direktur Choi dan Sekretaris Ryu kompak tundukkan kepala, sebuah gerakan sapaan yang khas di negeri ini. Soobin pun mengikuti gerakan mereka tanpa kesulitan. Sempat menangkap bagaimana beberapa kepala di lapangan tolehkan kepala. Kompak, reaksi sebagian besar dari mereka adalah memasang raut wajah tak menyangka. Tidak, bukan karena mereka melihat Putra Bulan—Soobin rasa mereka bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya—melainkan, eksistensi si iblislah yang sukses menarik perhatian. Si wartawan mengernyit saat dapati beberapa murid perempuan munculkan gurat merah di sepanjang wajah.

Astaga, bahkan di negeri dongeng ini pun Direktur Choi masih tetap menjadi dambaan wanita. Soobin menggelengkan kepala dalam benak.

“Angkat kepalamu. Sudah aku bilang, tak perlu tundukkan kepala terlalu lama kecuali untuk para raja.”

Nada suaranya berkumandang rendah, tegas bukan main. Soobin tak akan berbohong, si pupil merah sungguhan punya aura mengerikan yang teramat menyeruak. Berhasil membuat si wartawan mati kutu di tempat. Seolah-olah apabila ia salah gerakan satu sentimeter saja, pria di sana tak akan segan untuk menebas kepalanya.

Kedua netra itu berpindah, kini mengamati si iblis dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, “Aku kira kau sudah tak sudi untuk menapakkan kaki di tempat ini, Dan.”

Direktur Choi tak membalas.

Kedua manik merah darah itu beralih pada Soobin, “Tak kusangka ternyata pancingannya hanya perlu anak ini agar kau sudi kembali pulang.”

Sayap Pena | YeonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang