Keijō (Seoul), September, 1909.
─────────Hari ini tepat 2 hari setelah Soobin diusir begitu saja dari ruang direktur. 2 hari itu pula, ia tak dapat kabar barang secuil pasal si iblis, maupun dari tiga pimpinan Daehan Manse. Mereka bak sengaja menghilang dari muka bumi, atau mungkin menghindari si wartawan, entahlah. Untuk saat ini, Soobin tak mau ambil pusing terlebih dahulu. Lupakan sejenak mengenai makhluk-makhluk itu, karena Soobin punya berita yang lebih penting. Hari ini adalah hari Senin!
Bukan, Soobin bukan orang gila yang punya kecintaan akan hari paling menyebalkan satu ini. Hanya saja, hari Senin kali ini cukup berbeda baginya. Tepat pagi buta tadi, koran mingguan Daehan Maeil Shinbo telah terbit! Para pengantar koran berseliweran dengan sepeda mereka. Melemparkan tumpukan kertas itu ke pintu rumah orang-orang yang telah menyisihkan uang untuk berlangganan. Bagi yang tak berlangganan, maka mengerubungi penjual koran di pinggir jalanan adalah cara mereka.
Sedari tadi, si wartawan tak bisa menahan senyum. Tertawa-tawa dalam perjalanan ke pasar seperti orang kasmaran. Ibu penjual sayur langganan Soobin sampai heran ada apa dengan anak pemilik kedai gukbap ini. Karena seingatnya, terakhir kali pria muda ini membeli sayur, ia masih nampak waras-waras saja. Sejak kapan anak tunggal pemilik kedai gukbap mulai kehilangan akal? Kira-kira begitu pertanyaan dalam benak si penjual sayur.
“Hei, Minhee! Minhee! Gawat! Astaga, ini gawat sekali! Kau sudah membaca koran hari ini belum?!”
Sumringah, daun telinga Soobin seolah langsung berdiri macam kucing yang tengah siaga memantau seekor tikus. Menguping pembicaraan yang tak jauh darinya, sembari mengelus-elus permukaan mengkilat tomat di genggaman.
“Belum. Astaga, kau berisik sekali,” Minhee mengorek telinganya menggunakan jari kelingking, “Memangnya ada apa? Oi, sejak kapan pula kau membaca koran?”
“Ini masalah serius! Lihat! Lihat ini! Baca langsung di paragraf ketiga!” yang berteriak tadi menyodorkan koran ke depan wajah Minhee dengan gerak rusuh.
“Astaga, Yongja. Kau macam cacing ditaburi garam saja di Senin pagi begini,” Minhee berdecak sembari menggelengkan kepala. Skeptis akan respon heboh dari si kawan. Lantas ia raih koran yang disodorkan, berdeham untuk membacanya cukup keras.
“Memasuki usianya yang telah matang sebagai seorang pria, Direktur Choi secara gamblang membeberkan kabar mengenai minatnya dalam romansa—oh? berita menarik,” deretan gigi Minhee langsung terpampang, “Pebisnis sekaligus Direktur Bank Keijō ini berkata, bahwa saat ini, ia belum bisa memulai hubungan serius di bawah status pernikahan walaupun ia telah menginginkannya. Direktur Choi menambahkan, hal itu didasari oleh keadaannya yang ternyata selama ini tengah menunggu keputusan serta kesiapan sang kekasih untuk—tunggu sebentar.”
Hening. Soobin melirik sekitaran, memerhatikan reaksi yang diberikan. Membatin, ternyata ibu-ibu dan para penjual ini diam-diam menyimak bacaan berita Minhee dengan seksama.
“Kekasih?”
Si wartawan harus dibuat menahan senyum tatkala dapati beberapa tarikan napas kaget terdengar.
“APA-APAAN INI?!” Pekikan Minhee langsung menggema di penjuru pasar.
Dengan tidak tahu malunya, Soobin langsung menyemburkan tawa ringan. Berhasil membuat ibu penjual sayur menautkan kedua alis, berekspresi prihatin. Menghitung belanjaan Soobin dengan raut takut-takut. Si wartawan tentunya tak sempat untuk menangkap reaksi si penjual sayur. Terlalu sibuk terlena dalam kepuasan akan banyaknya reaksi yang ia dapat dari berita kali ini. Oh, astaga, mengapa hari ini terlihat begitu cerah? Langit Keijō nampak berseri-seri macam deretan gigi Soobin. Sungguh hari Senin yang menyenangkan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Pena | Yeonbin
FanfictionMasyarakat kota Keijō (Seoul) akhir-akhir ini tengah sibuk bergunjing pasal salah seorang saudagar kaya raya pemilik bisnis tekstil dan perhiasan, sekaligus direktur muda bank kota, Tuan Choi. Mereka berkata bahwa saat ini Tuan Choi merupakan pria i...