Keijō (Seoul), September, 1909.
─────────Soobin tidak punya banyak ingatan pasal eksistensi ibunya sendiri. Seingatnya, wanita itu dibawa oleh orang-orang Jepang saat ia masih berusia 4 tahun, entah karena apa. Sampai sekarang pun—Soobin yakin—apabila ia bertanya apa alasannya, ayah akan selalu enggan menjawab. Mengalihkan topik pembicaraan secara terang-terangan. Maka dari itu, ia memutuskan untuk berhenti bertanya secara total tatkala ia menginjak umur 12 tahun. Apapun alasan Ibunya pergi, Soobin tahu betul itu adalah ingatan yang paling ingin ayahnya lupakan. Ia tak mau sulitkan ayah lebih jauh lagi. Walau sering kali ia akan temukan dirinya melamun menatapi anak-anak yang tengah bercengkrama dengan ibu mereka. Tak masalah, yang terpenting adalah kebahagiaan dan kesehatan ayah.
Ayah Soobinlah yang ajarkan baca tulis menggunakan aksara Korea sejak awal. Lantas, Soobin belajar bahasa keduanya tatkala disekolahkan di jenjang sekolah dasar dengan bahasa pengantar berupa bahasa Jepang. Soobin tak lanjutkan sekolahnya sampai ke sekolah menengah. Ia bukan kaum elit yang punya banyak uang sampai beruntung untuk mencicipi pendidikan lebih tinggi. Kependudukan Jepang menciptakan dinding tebal serta tangga menjulang antara etnis Korea dan etnis Jepang. Pendidikan dipisahkan, dan sulit hukumnya bagi etnis Korea yang bukan berasal dari golongan elit untuk bisa menempuh pendidikan selanjutnya. Sungguh, Soobin tumbuh tak buta huruf pun sudah termasuk hal yang luar biasa.
Ayah jugalah yang mengenalkannya pada hobi membaca. Setelah selesai dari sekolah dasarnya, tiap pagi jam 9, Soobin selalu menghabiskan waktu di perpustakaan kota. Ia teramat beruntung karena penjaga perpustakaan merupakan salah satu kawan lama ayah, jadi Soobin bisa keluar masuk sesuka hati tanpa harus cekcok dengan orang-orang Jepang itu. Soobin tak punya hari libur untuk berkunjung, kecuali jika memang hari itu adalah jadwal perpustakaan untuk tutup. Lalu tepat pukul 12 siang, ia akan bawa pulang satu atau dua buku dan pergi ke kedai untuk membantu ayah. Jam makan siang akan selalu ramai, ayah jelas butuh tangan tambahan untuk mempercepat jual beli.
“Ayah, bagaimana kalau mulai sekarang aku membantu di kedai sehari penuh? Supaya ayah bisa istirahat lebih—”
“Tidak boleh! Kau belajar saja sana yang rajin di perpustakaan! Tugasmu saat ini itu bermain dan belajar. Tidak perlu sok tua sampai mau menjalankan kedai ini sendirian. Belum waktunya! Isi otakmu sampai penuh dengan buku-buku itu dulu, tidak usah berpikir terlalu jauh.”
Begitu cerocos ayah di malam hari ketika Soobin berusaha menyuarakan pendapatnya. Pria tua itu punya pendirian kuat mengenai pendidikan. Ayah bahkan terlalu sering minta maaf karena tidak bisa menghasilkan banyak uang untuk menyekolahkan Soobin lebih jauh. Padahal telah Soobin jelaskan berkali-kali, hal tersebut bukanlah salah ayah. Para penyusup Jepang yang tak tahu diri itulah yang seharusnya disalahkan. Seorang pria yang punya uban di mana-mana, pemilik kedai makan kecil di pinggir jalan, yang selalu menyalahkan diri akan nasib 'buruk' anak tunggalnya. Soobin menghormatinya dengan teramat. Jika keselamatan ayahnya bisa dibayar dengan nyawa Soobin, maka akan ia berikan tanpa pikir berkepanjangan. Bagi Soobin, ayah adalah dunianya.
“Kau ini bodoh sekali!”
“Aduh! Hei-aduh! Berhenti memukuliku!”
“Kau beruntung aku hanya memukul, seharusnya sekarang sudah kucabut nyawamu itu!”
“Jangan berteriak terlalu keras! Kau bisa membangunkannya, dasar nenek-nenek!”
“Nenek-nenek?! HEI, KAU NYAMUK BERTANDUK—”
Soobin menggeram rendah, terganggu oleh pekikan demi pekikan yang menggema. Kelopak mata ia paksakan untuk terbuka, langsung disuguhi oleh silaunya lampu ruangan. Si wartawan berkedip-kedip tak nyaman, ditambah dengan rasa nyeri di seluruh badan yang menjalar. Terutama bagian leher, makin kesadarannya terkumpul, makin terasa panas sisi kanan lehernya. Soobin diam, tak bergerak kecuali kelopak matanya. Berusaha mengingat sedang ada di mana ia kini, dan apa yang sebelumnya terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Pena | Yeonbin
FanfictionMasyarakat kota Keijō (Seoul) akhir-akhir ini tengah sibuk bergunjing pasal salah seorang saudagar kaya raya pemilik bisnis tekstil dan perhiasan, sekaligus direktur muda bank kota, Tuan Choi. Mereka berkata bahwa saat ini Tuan Choi merupakan pria i...