╔────────────────────────╗
⚠︎
Bagian ini dapat mengganggu
kenyamanan sebagian individu.
Mengandung deskripsi luka, darah,
serta beberapa adegan kekerasan.
Harap bijak dalam membaca.
⚠︎
╚────────────────────────╝Keijō (Seoul), Oktober, 1909.
─────────Perpustakaan Keijō memiliki bangunan yang tak begitu besar. Dari luar, orang-orang hanya akan mengetahui bahwa perpustakaan ini memiliki satu lantai. Hanya para petugas serta beberapa orang berkepentingan yang mengetahui rahasia pasal lantai bawah tanah. Lewat kedekatannya dengan salah satu penjaga perpustakaan, sejak umur 12 tahun, Soobin telah menjadi salah satu dari mereka. Sepanjang yang bisa ia ingat, lantai bawah tanah perpustakaan punya begitu banyak ruang dengan pintu terkunci. Lengkap dengan alur lorong yang cukup membingungkan. Lorong bercabang yang begitu menyebalkan sampai rasanya cukup mustahil apabila si wartawan masuk tanpa panduan petugas. Minimal, ia jelas perlu menggenggam sebuah peta agar tak hilang di antara tumpukan berkas lama.
Tentu saja, untuk memasuki lantai bawah tanah, Soobin harus memiliki alasan kuat yang akan diajukan kepada petugas. Alasan yang tak dapat disangkal maupun diragukan oleh orang-orang perpustakaan.
“Ah, kau perlu catatan tentang insiden pulau Ganghwa tahun 1876 untuk tulisanmu selanjutnya, ya?”
“Benar, Paman Kim. Lebih tepatnya, mengenai diplomasi kapal perang. Perjanjian persahabatan pulau Ganghwa,” ucap Soobin sembari menggangguk mantap. Kedua tangannya terlipat rapi di atas paha dengan posisi duduk tegak. Ini dia alasan yang tidak bisa disangkal itu, memanfaatkan statusnya sekarang yang merupakan seorang wartawan.
“Kalau untuk itu, kami hanya punya catatan dari koran Chōsen Shinpō. Koran lama, terbitan kisaran tahun 1881 atau 1882 seingatku. Tapi itu koran mandarin, setahuku kau tidak bisa berbahasa mandarin, Soobin?”
“Ah, iya, benar. Tidak masalah, Paman Kim,” si wartawan nyengir lebar, kepalanya tertoleh ke sebelah kanan, “Rekan saya bisa berbahasa mandarin.”
Paman Kim mengalihkan pandangan ke rekan yang dimaksud. Kedua bola matanya nampak berbinar dengan alis yang terangkat tertarik.
“Kau juga bisa berbahasa mandarin? Tadi aku lihat kau lancar bicara berbahasa jepang dengan Hanako di depan. Sebenarnya, berapa bahasa yang kau kuasai, Tuan Taehyun?”
Wakil Kang tersenyum percaya diri, kedua netra bulatnya tegas memandang lawan bicara, “Sejauh ini saya baru menguasai lima bahasa, Kepala Kim.”
“Lima? Korea, Jepang, Mandarin, lalu?” intonasi suaranya menggantung di akhir kalimat.
“Inggris dan Belanda.”
Kepala Kim berhasil dibuat terbelalak, “Bahkan sampai menguasai bahasa negeri Ratu Wilhelmina? Luar biasa,” ia menarik maju kursinya beberapa sentimeter begitu semangat, “Tuan Kang Taehyun, apa kau tidak ingin bekerja di sini saja? Berhubung kami sedang membutuhkan penerjemah buku—”
“Paman Kim! Tolong jangan mencuri rekan kerjaku,” cemberut, Soobin menyilangkan kedua lengannya di dada, berlagak cemberut.
“Oh ayolah, Soobin! Aku hanya menawarkan lowongan terpercaya jika saja anak jenius ini tidak betah bekerja denganmu.”
Kekehan tawa ringan menginvasi ruangan sejenak. Kepul teh hangat yang belum lama tersaji masih setia menemani. Dibersamai dengan lambaian angin awal bulan Oktober, elok menebar dedaunan yang menguning di luar jendela. Orang awam yang melirik jelas akan mengira bahwa pertemuan kali ini, hanyalah sebatas percakapan menyenangkan di bawah nama temu rindu. Bukannya misi mencuri sebuah buku penting demi menghalangi konflik runyam antar negeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Pena | Yeonbin
FanfictionMasyarakat kota Keijō (Seoul) akhir-akhir ini tengah sibuk bergunjing pasal salah seorang saudagar kaya raya pemilik bisnis tekstil dan perhiasan, sekaligus direktur muda bank kota, Tuan Choi. Mereka berkata bahwa saat ini Tuan Choi merupakan pria i...