Bagian 5: Ramalan Dewi Bulan

265 46 26
                                    

Tempat dan waktu tidak diketahui.
─────────

Sebelumnya Soobin telah mengatakan bahwa rakyat negeri ini memuja Dewa Matahari dan Dewi Bulan bukan? Di tengah-tengah agenda berkeliling tadi, Kai tiba-tiba menyarankan mereka untuk mampir ke kuil Dewi Bulan. Alasannya sederhana, karena jarak kuil Dewi Bulan lebih dekat dari posisi mereka saat itu yang masih asik menonton Wakil Kang berenang di danau. Jujur saja Soobin cukup enggan untuk angkat kaki, oh ayolah, tak selamanya ia bisa melihat seekor siren. Lebih-lebih lagi, siren dengan nama samaran Wakil Kang. Ini pengalaman langka nan luar biasa! Tetapi sepertinya semesta tengah bermusuhan dengan Soobin. Ia kalah suara, karena nyatanya tiga kepala lain sama sekali tak keberatan dengan ide Kai.

Hanya butuh berjalan kaki kira-kira 5 menit, mereka telah sampai ke gedung putih dengan pilar-pilar agung itu. Soobin dibuat melongo saat melihat arsitektur kuil. Dinding serba putih tanpa noda barang setitik, teras terbuat dari marmer putih bersih, dan pilar-pilar besar menyangga kubah kuil dengan elok. Mereka melepaskan alas kaki di luar kuil, lalu masuk dengan kaki telanjang. Saat memasuki kuil, Soobin dibuat terdiam, terkagum-kagum akan pemandangan yang ada di depan mata.

Langit-langit kubah kuil di atas sana, dipenuhi oleh lukisan kisah-kisah Dewi Bulan. Jendela tinggi di samping kanan dan kiri berjajar agung, menjadi sebuah perantara yang membuat bagian dalam kuil disinari mentari begitu memesona. Masing-masing dari mereka terbuat dari padu padan kaca-kaca bening dan emas, dibentuk dan dirangkai sedemikian rupa sehingga memamerkan rupa elok Dewi mereka yang tengah memeluk bulan. Lampu megah dengan banyak lilin tergantung di tengah-tengah kubah. Dan di sepanjang tembok pun Soobin dapat lihat deretan tempat lilin yang berjajar rapi sampai ke altar.

Poin utama dari kuil ini, tentu saja altar mereka. Di depan sana, berdiri kokoh patung Dewi Bulan, menjulang tinggi hampir menyentuh langit-langit. Di tangan kanannya terletak sebuah bulan, dan tangan kirinya membawa sebuah alat timbangan yang menggantung. Rambutnya tergerai elok sampai ke pinggang, sedikit bergelombang dan dihiasi bunga-bunga kecil di beberapa tempat. Ada sebuah mahkota dengan ragam pola bintang yang duduk manis di atas kepalanya. Dewi Bulan mengenakan pakaian tertutup serba panjang. Sebuah gaun tipis tanpa pola serta hiasan, dan bagian ujung roknya terjulur panjang. Dilengkapi pula dengan sebuah selendang yang terkalung dari leher bagian belakang, menuju dada, lantas melilit kedua lengannya. Ujung selendang sengaja dibuat seolah-olah tengah berkibar elegan.

“Dewi Bulan melambangkan keseimbangan.”

Soobin menoleh ke samping kanan. Tepat di sebelahnya, telah berdiri Direktur Choi. Kedua tangan pria itu ia masukkan ke dalam saku celana. Dagunya terangkat tinggi menghadap altar. Bukan sikap congkak, melainkan sebuah gestur percaya diri dan tegas yang biasa ia tampakkan. Kedua netra menatap tajam pada patung di depan sana, lebih tepatnya, pada wajah si Dewi.

“Tuan tidak ikut berdoa?” Si wartawan bertanya. Bukan tanpa alasan. Pasalnya, tiga kepala lainnya sudah sibuk menyalakan lilin masing-masing dan duduk bersimpuh di depan altar sana. Kedua tangan mereka mengatup, lengkap dengan mata terpejam tenang. Mulut masing-masing komat-kamit tanpa suara, jelas sedang berdoa serta memberikan puji-pujian terhadap Dewi Bulan.

“Aku lebih berpihak pada Dewa Matahari.”

“Oh?” Soobin menelengkan kepala tertarik, “Mengapa?”

Direktur Choi menoleh, mengunci tatapan pada kedua netra Soobin sejenak. Sungguh, si wartawan sudah banyak kali bertanya-tanya apakah kegiatan mengunci tatapan tanpa berkedip adalah kebiasaan si iblis tiap berbicara dengan orang lain? Jikalau iya, maka Soobin akan akui bahwa kebiasaan itu ampuh membuat orang-orang menjadi gugup dengan sendirinya. Termasuk si wartawan, tentu saja.

Sayap Pena | YeonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang