Keijō (Seoul), Oktober, 1909.
─────────Apakah ayah Soobin tahu pasal segala kejadian buruk yang menimpa anaknya di tiap tempat kerja? Jawabannya, ya dan tidak. Ketidaktahuan ayah sengaja disebabkan oleh si wartawan itu sendiri yang begitu handal menutup sebagian besar luka tubuh. Ayah akan tahu hanya apabila luka-luka itu bertebaran pada wajah, leher, punggung tangan, serta telapak tangan si pria manis. Selain empat bagian itu, mudah bagi Soobin untuk menutup-nutupi segala tanda buruk rupanya.
Sebuah alasan klasik, si wartawan tak ingin buat ayahnya makin khawatir. Pria tua itu tak perlu tahu, Soobin hanya perlu palsukan segala tawa dan senyumnya di hadapan, hanya perlu menyembunyikan segala luka. Maka dengan itu, senyum hangat ayah akan selalu hadir. Soobin begitu mencintai senyum itu, tak akan ia biarkan luntur barang sedetik. Ia benci membuat ayahnya murung, sangat benci.
Si pria manis akan selalu biarkan lukanya berangsur-angsur membaik dengan sendirinya. Lalu ia akan memohon kepada Tuhan, meminta supaya Dia bisa berbaik hati untuk meredam segala pikiran berisiknya. Tak ada orang yang menyukai busuk, maka dari itu Soobin akan mati-matian mencoba untuk menyembunyikan busuknya dalam-dalam. Ia selalu mengunci pintu kamar, memblokir ayah untuk masuk tanpa ijin. Lantas si wartawan akan menghabiskan malam dengan tangis tanpa suara, sendirian.
‘Tak perlu ada yang tahu, dan tak boleh ada yang tahu,’ begitu pikirnya sejak dahulu. Sebuah aturan mutlak yang ia ciptakan untuk diri sendiri. Selama ini Soobin telah terbiasa membangun bendungan tinggi untuk menampung segala laranya, menyembunyikan eksistensi mereka dari hidung ragam manusia yang ada. Menciptakan halaman depan dirinya yang menyenangkan bagi orang lain; anak tunggal pemilik kedai gukbap yang manis, anak lelaki Pak Choi yang baik. Hanya itu, dan Soobin enggan mengubahnya hanya karena segala rahasia busuknya yang tersimpan.
“Hei, selamat pagi,” Direktur Choi meloloskan satu kecupan hangat di dahi pria manis itu sebagai ucapan selamat pagi. Tersenyum tipis sembari menyisir rambut si wartawan dengan jemari.
Sialnya, iblis satu ini telah menyalahi peraturan tak tertulis milik Soobin itu.
“Ingin sarapan dulu atau mandi dulu?”
Yang ditanya menelan ludah, merasakan nyeri yang hadir di leher akibat cekikannya sendiri. Soobin mengalihkan pandangan ke sembarang arah, tak berani tatap balik kedua netra teduh si iblis. Jujur saja, pria manis itu tak tahu sudah semerah apa wajahnya kini. Oh ayolah, orang gila mana yang masih waras ketika diberikan kecupan selamat pagi oleh seorang Choi Yeonjun? Akal sehat Soobin masih tersisa sebesar satu titik saja rasanya sudah menjadi berkah yang luar biasa.
“Ah, sebelum itu, minum teh lemon hangat dulu, ya? Lehermu pasti sakit. Bisa duduk?”
Si wartawan mengangguk kecil. Cekatan, Direktur Choi membantunya duduk bersandar pada kepala ranjang. Kemudian meraih secangkir teh lemon hangat yang ia letakkan pada nakas. Membiarkan Soobin mulai meminum cairan hangat itu.
“Pelan-pelan, Soobin.”
Si iblis memandangi pria manis itu dalam diam. Setelah si wartawan sempurna menghabiskan teh hangatnya secara kilat, ia raih kembali cangkir itu, meletakkannya di tempat semula.
“Tuan Choi, air hangatnya sudah siap.”
Kedua kepala di sana menoleh ke sumber suara. Mendapati salah seorang pelayan Direktur Choi keluar dari kamar mandi. Soobin mengenalinya, ia adalah pelayan yang terakhir kali merawat si wartawan. Menyiapkan air mandi, baju ganti, mengganti perbannya, memberikan arloji dari si iblis, dan yang mengantarkannya ke ruang makan.
“Terima kasih banyak, Jungwon. Kau bisa pergi,” ucap si saudagar.
Pelayan itu—yang kini telah Soobin ketahui namanya—Jungwon, membungkukkan badan, lantas mengikuti titah atasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Pena | Yeonbin
FanfictionMasyarakat kota Keijō (Seoul) akhir-akhir ini tengah sibuk bergunjing pasal salah seorang saudagar kaya raya pemilik bisnis tekstil dan perhiasan, sekaligus direktur muda bank kota, Tuan Choi. Mereka berkata bahwa saat ini Tuan Choi merupakan pria i...