Bagian 3: Negeri Dongeng

271 45 13
                                    

Keijō (Seoul), September, 1909.
─────────

Pagi ini Soobin bangun dengan sebuah kejutan. Semalam ia akhirnya dapat terlelap kira-kira pukul 3 pagi, dan terbangun di jam 7 saat salah seorang pelayan si kaya raya mengetuk pintu kamar. Kejutannya adalah, si wartawan telah disiapkan segala kebutuhan untuk mandi pagi lengkap dengan satu set pakaian rapi. Biar Soobin beritahu, semua barang ini—ia yakin betul—harganya sudah pasti begitu menjulang. Ia mandi dengan air hangat, sabun-sabun berbusa yang mahal, di kamar mandi mewah penuh marmer, mengelap tubuh dengan handuk kelewat lembut, dan berpakaian dengan pakaian yang—astaga, Soobin sampai melongo—teramat nyaman bahannya. Kain kemeja kasarnya yang selama ini ia pakai jelas tidak dapat dibandingkan dengan kemeja berkerah rumbai dan celana kain mulus dari si iblis.

Bukan sampai situ saja. Setelah ia rapi dengan pakaiannya, pelayan lain masuk sembari memberikan sebuah kotak yang ternyata berisi arloji mengkilat. Si pelayan berkata, “Tuan Choi, Direktur telah menunggu Anda untuk sarapan bersama.”

Soobin yakin, jika diibaratkan, saat ini rahangnya pasti telah terjatuh sampai ke tanah. Tetapi si pelayan nampaknya tak ingin berikan waktu lebih jauh kepada si wartawan untuk menganga. Pria kurus itu memintanya untuk segera mengenakan arloji pemberian Direktur. Sebuah permintaan yang langsung dituruti si wartawan sambil berandai-andai. Apakah ia bisa memperbaiki sudut-sudut atap yang bocor di rumah dan kedai ayah dengan benda ini? Atau bahkan sekalian membeli sebuah rumah baru jika menjualnya? Kedua netranya berbinar akan kilau arloji yang menyapa.

Soobin berlari kecil menuju kaca meja rias di kamar. Ia berhasil dibuat mengernyitkan dahi tatkala melihat refleksi dirinya sendiri di cermin. Sungguh, Soobin tidak mengada-ada, ia nampak persis seperti anak orang kaya yang hanya tahu cara berfoya-foya dan merengek ke orang tua dengan nada manja. Anak keluarga elit yang punya kebiasaan membusungkan dada dan mendengakkan kepala tatkala langkahkan kaki. Tipikal anak yang terlahir dengan sendok emas, yang jalan hidupnya nampak mulus hanya karena pengaruh tumpukan uang dan kuasa sang orangtua. Hanya saja, penampakannya kali ini lebih mirip seperti anak orang kaya yang baru saja digorok lehernya. Tolong jangan salahkan Soobin, perban di lehernya memberikan kesan macam itu.

Pelayan tadi kembali menarik kesadaran si wartawan keluar. Menuntunnya untuk duduk tepat di depan cermin, lantas secara cermat mengganti perban basah Soobin dengan yang baru. Pelayan ini sungguhan tak mau menghabiskan barang satu detik waktunya untuk terbuang. Karena setelahnya, Soobin langsung dibawa menuju ruang makan. Ruang makan yang luasnya saja sudah melebihi luas rumah si wartawan. Jadi, di sinilah ia berada.

“Soobin, kau akan berangkat bersamaku ke kantor.”

Berkedip berkali-kali Soobin dibuatnya. Daging sapi mahal di hadapannya ia kunyah dengan perasaan tidak nyaman. Ada apa dengan orang kaya satu ini? Ada apa dengan sikapnya yang suka berubah-ubah drastis begitu? Soobin tahu tabiat orang-orang kaya itu. Persis seperti yang selama ini ia lihat, terutama para pebisnis handal. Mereka selalu melakukan hubungan timbal balik. Memberi, lantas mengeruk hasil lebih banyak. Soobin tidak senaif itu sampai berpikir Direktur Choi melakukan semua ini hanya atas nama ‘rasa bersalah’.

“Aku bisa lihat otakmu berputar sampai ke sini, Soobin. Bertanyalah jika kau mau, kuberi kemurahan hati walau belum saatnya wawancara.”

Soobin diam-diam memutar bola matanya malas akan nada arogan si saudagar.

“Bisa katakan langsung apa tujuan Anda, Tuan? Saya yakin segala kebaikan Anda terhadap saya bukanlah hal gratis.”

Soobin melirik Direktur Choi yang duduk di seberang meja, tepat berada di hadapannya. Masih sibuk memotong daging dengan postur tubuh begitu tegak. Jemari si iblis luwes menggunakan tiap alat makan, menimbulkan hanya sedikit suara denting dari peraduan benda-benda berkilau ini. Amat kontras dengan keadaan Soobin, yang sedari tadi diam-diam meringis tiap sendok, garpu, maupun pisaunya beradu dengan piring dan mangkuk. Oh ayolah, selama ini ia hanya makan dengan sepasang sumpit kayu dan mangkuk kayu yang telah bertahun-tahun umurnya.

Sayap Pena | YeonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang