Bagian 8: Jangan Tinggalkan si Pengecut

286 42 16
                                    

Keijō (Seoul), Oktober, 1909.
─────────

Sejak kecil, Soobin melabeli dirinya sendiri sebagai seorang pengecut ulung. Bukan tanpa alasan, tentunya. Pernah, satu kali ia melihat seorang anak perempuan diseret kasar oleh gerombolan tentara Jepang, Soobin hanya bersembunyi di balik salah satu gerobak usang. Menutup telinga atas jeritan pilu, memutuskan untuk menjadi pengecut. Di lain kesempatan, kala salah satu rekan kerjanya yang ramah dipukuli sampai meregang nyawa di hadapan, Soobin hanya sanggup meringkuk di ujung ruangan. Bergetar penuh takut, memutuskan untuk menjadi pengecut. Juga, tatkala salah satu senior wartawannya ditangkap kepolisian Keijō, Soobin hanya menunduk dan membisu bodoh. Tak menggubris pekikan memohon yang menggaung, memutuskan untuk menjadi pengecut.

Maka dari itu, saat Wakil Kang memeluknya begitu erat sembari mengucapkan terima kasih bertubi-tubi, lidah Soobin kelu bukan main. Deretan giginya saling beradu dengan tak nyaman, menggelengkan kepala berkali-kali. Menolak terima kasih karena dianggap telah menyelamatkan si manusia ikan. Soobin mati-matian mengingatkan kembali identitas dirinya, si pengecut yang payah. Mengingat kembali hal-hal bodoh nan munafik yang selama ini telah ia lakukan, hanya untuk memvalidasi hasrat kabur dan menyelamatkan dirinya yang begitu kentara. Tidak, bagi Soobin, dirinya hanyalah seorang pengecut ulung yang tak layak mendapatkan ucapan terima kasih. Seorang manusia yang tak layak diberikan sanjungan. Bagi dirinya sendiri, Soobin hanyalah anak bodoh yang tak berguna.

“Oi, Kang. Berhenti memeluknya, kau tidak lihat Soobin sampai sulit bernapas begitu?”

Sesuai perintah Ketua Choi, Wakil Kang secara perlahan mulai kendurkan dekapannya. Tersenyum lembut menatap kedua netra si wartawan.

“Terima kasih banyak. Syukurlah kau tidak mati di tengah jalan,” dan si siren menjauhkan diri, tepat setelah memberikan usapan hangat di kepala Soobin.

“Padahal kalaupun Soobin meninggalkanmu di sana, kau akan baik-baik saja. Lupa bahwa kau ini makhluk abadi atau bagaimana?” ucap Ketua Choi.

Wakil Kang berdecak, “Tetap saja, setidaknya aku tidak harus mencicipi kejut listrik mereka lagi. Begitu malas aku kalau mereka sudah menggunakan benda sialan itu.”

“Padahal kalau kau memaksa Soobin untuk meninggalkanmu di sana, Soobin tak akan terluka separah ini.”

Si manusia ikan menaikkan salah satu alisnya, “Kau menyalahkanku?”

“Aku tidak bilang begitu?”

“Kau baru saja menyalahkanku.”

Soobin melirik Kai yang sedari tadi duduk di samping ranjangnya. Mereka saling tatap dalam diam, kompak mempertanyakan mengapa pula dua makhluk itu malah memulai cek-cok pasal hal tak penting.

“Demi Dewi Bulan, aku tidak menyalahkanmu, Tallis. Aku hanya mengungkapkan sebuah pengandaian.”

“Kalau hanya pengandaian, bicaramu jangan sembarang, Blaire. Tiap akan buka mulut, pikir dalam kepala terlebih dahulu. Kau tidak tahu karakter tiap lawan bicara. Bisa saja dua detik setelah kau tutup mulut, kepalamu melayang terpisah dari tubuh.”

Astaga, mereka memanggil satu sama lain dengan nama asli. Si wartawan kembali melirik Kai. Anak itu sama saja, bingung harus apa. Atau lebih tepatnya, memilih untuk acuh dan sibuk mengunyah apel dari atas nakas.

“Kau marah?”

“Apa aku terlihat seperti sedang marah?”

“Tallis marah,” Ketua Choi memajukan bibirnya, merajuk, “Padahal aku hanya bercanda tadi.”

“Astaga, Blaire,” Wakil Kang berkacak pinggang, menutup kelopak mata sembari menghela napas panjang.

“Hei, Ikan! Kalau lapar, makananmu ada di meja makan.”

Sayap Pena | YeonbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang