*Putri's POV*
Untung kemaren sore, Papa udah pulang dinas, jadi hari ini aku nggak usah repot naik angkot, ataupun nebeng Putra soalnya takut ngerepotin.
Ya, gini-gini aku masih sadar diri kali.
Setelah diturunin di depan gerbang sama Papa, aku jalan ke kelas seperti biasa. Entah perasaanku aja atau apa, pas aku masuk mulai ada bisik-bisik.
Tapi, aku nggak sebego dan senaif itu mikir kalo bisik-bisik ini cuma kebetulan atau buat orang lain. Tapi juga, aku takut aku cuma kegeeran.
Pada akhirnya, aku mutusin buat berusaha mengabaikan suara-suara itu. Agak susah sih, karena ada beberapa yang nggak pinter bisik-bisik. Tapi tetep aja, aku nggak denger kata-kata yang buat aku yakin kalo bisikkan itu menjurus ke aku.
Dan saat beberapa langkah sebelum aku masuk ke kelas, akhirnya aku denger sesuatu yang bikin aku yakin kalo emang topik pagi ini, ya, aku.
"Heran gue. Dimas kok mau ya sama cewek itu?"
"Iya, aneh-aneh aja. Mukanya songong banget, lagi."
"Eh, udah gitu, dia makan temen banget, tau. Dia kan temen deketnya Dinda. Eh, malah deketin Dimas."
"Iya, iya! Parah banget emang. Gue kalo jadi Dimas, mending milih Dinda ke mana-mana, lah."
Aku menghadap ke arah dua orang itu. Memberikkan tatapan sedingin-dinginnya, lalu masuk ke kelas.
Ternyata ini tentang yang kemaren. Aku cuma jalan sama Dimas doang, kok sampe segininya ya?
Aku menunduk, menarik napas panjang. Pas naikkin kepala lagi, anak-anak kelas pada ngeliatin. Aku menunduk lagi, jalan ke tempat duduk. Untungnya, Dimas belom dateng.
Alya yang udah duduk di tempatnya ngeliatin aku. "Lo mau cerita?"
Aku ngeliat sekeliling. Kayaknya, anak kelasku nggak selebay orang-orang lain. Mereka udah balik ke aktivitas masing-masing.
Aku mengangguk. "Sebelumnya, boleh nggak, tukeran tempat?"
Alya mangangguk mengerti. Dia ngambil tasnya dan berdiri, ngasih tempat buatku lewat. Setelah aku duduk di pojok, Alya pun duduk di kursi--yang seharusnya--punyaku dan menaruh tasnya di bawah.
"Jadi?" tanya Alya.
"Kata guru Bahasa Indonesia gue pas SMP, 'jadi' itu buat kesimpulan," ujarku.
Alya menatapku datar. "Nggak usah gitu deh."
Aku tertawa kecil. Kemudian narik napas lagi. "Ya, kayak yang lo denger, kemaren gue berangkat bareng Dimas. Cuma jalan dari belokan depan doang, padahal."
"Itu doang?" tanya Alya. "Dari beberapa omongan yang gue denger, lo sampe sok-sok jatoh biar ditolongin Dimas."
Aku melotot. "Apa banget? Emang gue se-desperate itu?"
Alya ketawa. "Namanya juga gosip."
"Tetep aja." Aku mengerutkan dahi. "Terus, kocak dah. Kejadiannya udah dari kemaren, tapi ramenya baru hari ini."
Alya mengedikkan bahu. "Mungkin, mereka ngumpulin fakta-fakta dulu?"
"Lebih kepada ngumpulin fitnah-fitnah dulu, ya," ujarku.
Alya ketawa. "Bisa aja lo."
Pas saat bel bunyi, masuklah objek rumor yang satunya. Dimas.
Dimas jalan dengan biasa aja. Tapi pas dia lewat mejaku sama Alya, dia sampe ngeliat dua kali dulu. Terus dia senyum bersalah, minta maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Similarities of Us
Teen FictionKata orang, kalau banyak kemiripan itu jodoh. Kita lihat cewek-cowok satu ini. Nama? Mirip. Sifat? Mirip. Dan masih banyak kemiripan mereka yang sudah tak bisa diragukan lagi. Tapi, apa hal itu berlaku bagi mereka? Malah, sepertinya, opposite attrac...