3) Perjanjian

355 21 0
                                    

*Putra's POV*

"Oh iya, Ibu lupa. Untuk tugas bab ini, kalian mengerjakannya secara berkelompok," kata Bu Erin, guru Geografi gue.

Sumpah gue males banget kerja kelompok. Ribet. Ntar nggak ada waktulah, kerjanya nggak benerlah, apalah.

"Oh, dan seperti tugas-tugas kelompok sebelumnya, nanti kalian buat power point ya. Bab ini kan materinya banyak, jadi biar lebih mudah, buat presentasi saja ya," tambah Bu Erin.

Dan itu juga bikin gue nambah pengen teriak. Males banget dah. Belajar mah belajar aja kek, apaan coba, ada tugas ginian.

"Sekretaris kelasnya siapa? Syifa ya?" tanya Bu Erin.

"Iya, Bu. Saya," kata Syifa, si sekretaris.

"Kamu buat kelompoknya ya. Buat 6 kelompok," suruh Bu Erin. "Laki-laki perempuan campur saja. Yang sama rata."

"Iya, Bu," kata Syifa lagi.

Semoga aja gue sekelompok sama yang pinter-pinter. Kan lumayan, beban gue jadi berkurang dikit.

KRIIING!

"Baiklah, cukup sekian hari ini. Jangan lupa presentasinya, ya. Semua harus sudah siap. Ibu permisi dulu," kata Bu Erin lagi, lalu pergi.

Beberapa saat kemudian, si Syifa mukul-mukul papan tulis pake penghapus papan tulis. "Eh, woi! Gue mau bacain pembagian kelompok nih."

"Ntar aja ngapa," sahut seseorang.

"Tulis aja kek," kata yang lain.

"Ya udah, gue tulis aja," ucap Syifa akhirnya, nulis kelompok buat Geografi di papan tulis.

Putra.. Putra.. nama gue belom ya? Baguslah, nggak awal-awal amat. Kalo terakhir juga nggak papa gue mah.

Tapi akhirnya, pas kelompok 4 ada nama gue. Gue, Syifa, Rendi, Fira, sama Dinda.

Eh, ada Dinda? Yes, bagus. Gue bisa deket kali sama dia dikit-dikit. Mana kelompok gue yang lain-lain pinter juga lagi. Berasa nyampah sih, tapi seenggaknya gue nggak usah kerja banyak-banyak amatlah.

~~~~~~~~~~

"Kok lu aneh dah, Put? Kayaknya mendingan pas lu jutek dah," komentar Dimas.

Gue berenti jalan, Dimas ngikut berenti. Gue natap dia bentar, naikkin sebelah alis. "Maksud lo?"

"Dari tadi lu senyam-senyum sendiri. Asli, itu lebih serem dari muka lu pas jutek," jawab Dimas.

Demi apa gue dari tadi senyam-senyum gitu? Ampun, lebay banget dah gua. Baru sekelompok doang sama Dinda, gimana..

Ah, jangan mimpi tinggi-tinggi.

"Nah, nah, sekarang muka lo gitu lagi. Apa jangan-jangan.. ini bukan Putra?" oceh Dimas lagi.

Gue memutar bola mata. Menempeleng kepala Dimas, terus lanjut jalan sendiri.

Dimas lari-lari kecil ngejar gue. "Ya elah, baper amat dah lu. Baru gue tanyain gitu doang."

"Lah. Lagian, masalah amat gue senyum atau apaan. Suka-suka lah," kata gue.

"Tapi orang-orang pada ngeliatin lo tau. Mungkin pada takjub kali yak," balas Dimas.

Gue melihat sekeliling. Taunya bener, pada ngeliatin. Tapi, pas gue liatin mereka, ada beberapa yang langsung buang muka.

Gue nggak tau itu hal bagus apa buruk, dianggep serem. Untuk sekarang sih, bagus-bagus aja.

"Cerita ngapa lu," kata Dimas, merangkul bahu gue.

Gue melepaskan tangan Dimas dari bahu gue. "Cerita apaan?"

Similarities of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang