"Let it hurt until it can't hurt anymore." – Liam Ryan
Anyelir, 17 tahun.
***
Anyelir pikir kehidupan itu layaknya gelombang laut. Kadang gelombang pasangnya tinggi, terkadang surut. Tapi luasnya selalu tetap terbentang tak terkira sepanjang horison.
Sama seperti hidupnya, terkadang perasaan senangnya begitu membuncah hingga perasaan yang dituangkan dalam lukisan-lukisannya terlihat begitu cerah dan penuh rasa bahagia. Namun ketika dia merasa berada di titik terendah hidupnya, Dia merasa seperti berada di palung laut dalam yang gelap tak bertepi.
Semua terjadi dalam satu sore yang tak akan pernah Anyelir lupakan dalam hidupnya.
Nenek pingsan setelah selesai bekerja.
Anyelir yang panik menelepon kakaknya Angkasa dan meminta beberapa staf dan pekerja di rumah Kakek Abisena untuk membantu membawa nenek ke rumah sakit.
Sambil menangis, Anyelir berdiri mondar-mandir menunggu informasi dari dokter yang sedang berjaga di UGD. Dia menunggu hingga dokter datang ke bangsal tempat neneknya dan memeriksa bagaimana keadaan sang nenek.
"Nenek kenapa, Dek?" Di tengah kebingungannya, suara familiar Angkasa membuatnya luruh dalam pelukan kakaknya dan menangis sejadi-jadinya.
Jantungnya masih berdetak begitu kencang bertalu. Napasnya menjadi pendek satu-satu karena berbagai kemungkinan terburuk mampir dalam pikirannya.
"Nggak tahu, tadi tiba-tiba pingsan!" serunya panik di dalam pelukan sang kakak.
Anyelir tak ingat apa yang mereka lakukan dalam beberapa jam berikutnya hingga akhirnya nenek terbangun dan mereka sudah berada di bangsal perawatan. Dalam ruangan ini ada tiga pasien lainnya karena mereka mendapatkan kelas perawatan terbawah dan harus puas berbagi ruang dengan orang lain.
Saat ini Angkasa merupakan satu-satunya anggota keluarga yang mengurus administrasi di rumah sakit. Anyelir bolak-balik menatap khawatir pintu masuk, menunggu kabar dari kakaknya tentang biaya rumah sakit nenek.
"Nenek istirahat ya, pasti karena terlalu capek bekerja. Nanti Anyelir pintakan staf di sana supaya bisa bicara sama Kakek Abisena dan memberikan Nenek waktu istirahat yang cukup," ujarnya sambil memberikan senyum lemah kepada neneknya yang terlihat begitu pucat pasi.
"Iya, Nenek mungkin kelelahan ya? Tapi seharusnya setelah ini bisa langsung pulang kan? Nenek sudah bangun ini. Ndak perlu lama-lama di sini. Nanti biayanya semakin mahal," ujar Nenek dengan suara seraknya yang semakin membuat Anyelir merasa sedih.
"Nggak usah pikirin itu, Nek. Aku kan masih punya banyak uang tabungan hasil melukis. Mas Angkasa juga punya uang, tuh, hasil lomba dan olimpiade. Nggak usah khawatir. Yang penting Nenek cepat sembuh." Anyelir memaksa neneknya untuk kembali berbaring.
Mereka menunggu Angkasa kembali ke bangsal dan menemui dokter untuk membicarakan diagnosa penyebab nenek ambruk siang ini.
"Panggil dokter, Nak. Nenek mau pulang,"
"Nenek... jangan begitu dong, kalau dokter belum memperbolehkan Nenek pulang ya nggak bisa pulang," ujar Anyelir, nyaris merengek agar neneknya tidak bersikap seperti demikian.
"Udah ayo, kita pulang saja Lir... Nenek juga Ndak betah tidur di sini, ini badan Nenek sudah enakan, kok. Udah segar lagi. Yuk!" Nenek bersikeras turun dari bangsal. Jelas sekali kalau beliau tak nyaman barang sedetik untuk tetap tinggal dan mendapatkan perawatan di rumah sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Anyelir
Подростковая литератураA Prequel Sejak kecil, Anyelir Arimbi Dasono hidup dalam belas kasih Abisena Sastrowilogo - Partriarch keluarga konglomerat Sastrowilogo yang merupakan kakek dari Kelana Mahendra Sastrowilogo. Kelana, cowok dengan nada suara lembut dan tenang mengul...