Matching Shoes and Bag

73 8 0
                                    

Anyelir, 8 tahun

"Anyelir... coba bantuin aku ngerjain PR dulu!" Suara Angkasa yang merengek terus menerus membuat gadis itu mengangkat kepalanya dari buku gambarnya dan mendelik kesal ke arah saudara kembarnya.

"Ih, kenapa sih?" Anyelir menjawab dengan kesal.

Tangan kanannya masih memegang crayon yang dipakai untuk mewarnai hasil lukisannya.

Dia baru saja menggambar tas sekolahnya dengan bentuk bunga yang lucu disertai dengan kupu-kupu. Tak puas sampai situ saja, Anyelir kemudian berkreasi di atas sepatu putihnya. Kali ini ada rumput berwarna hijau disertai beberapa tangkai bunga yang tergambar hampir di seluruh permukaan sepatunya.

Sangat berwarna dan indah menurut mata Anyelir.

Anyelir tersenyum lebar mengagumi hasil prakaryanya, dan kembali berfokus pada buku gambarnya setelah menyingkirkan tas dan sepatunya di samping tubuhnya.

"Aku juga belum selesai ngerjain pr, tapi aku males menghitung matematika. Lebih baik menggambar seperti ini," ujar Anyelir, menepis permintaan kakaknya untuk mengerjakan tugas matematika bersama.

Otaknya selalu buntu kalau sudah berhadapan dengan angka. Makanya Anyelir paling benci dengan mata pelajaran matematika. Mata pelajaran yang paling ditunggu-tunggu adalah kesenian. Anyelir bebas menggambar dan mewarnai sesuka hatinya. Belum lagi ketika teman-teman dan gurunya memuji hasil karya Anyelir yang begitu bagus. Tentu saja hatinya semakin tersanjung dan dia semakin mencintai dunia lukis.

Rasanya Anyelir kembali senang jika tangannya sudah mulai menggoreskan apapun yang ada dalam imajinasinya dan dituangkan ke atas kertas. Untuk saat ini, Anyelir gemar sekali menggambar hutan, padang rumput, kebun bunga dan kupu-kupu.

Dulu, waktu hatinya diliputi sedih, dia senang sekali menggambar hujan dan lautan gelap. Kadang-kadang dia juga menggambar kucing dan burung hantu kalau sedang merasakan kesepian. Tidak lupa dia masih sering menggambar potret ayah dan ibunya jika dia tiba-tiba kangen dengan mereka dan tak dapat menemuinya lagi untuk selamanya. Sumber gambarnya hanyalah foto berpigura yang ditaruh di nakas tempat tidur nenek. Ada gambar ayah dan ibunya beserta Anyelir dan Angkasa yang waktu itu sedang berwisata di Kebun Binatang Ragunan.

"Terus gimana dong? Masa kita dapat nilai jelek lagi sih untuk prnya?" Angkasa bertanya dengan sedih.

Pandangan Angkasa beralih, bergantian dari lembaran buku tugas di depannya, dengan buku gambar yang sedang fokus dikerjakan Anyelir.

"Tapi aku emang nggak bisa matematika. Susah banget," jawab Anyelir sembari fokus mewarnai buku gambarnya.

"Nanti nenek marah loh kalau kita nggak ngerjain pr!" Angkasa mengingatkan sekali lagi.

"Ya sudah, kamu aja yang kerjain. Nanti aku tinggal nyontek," balas Anyelir tanpa rasa bersalah.

Makanya tak salah jika Angkasa menggeplak kepala Anyelir dengan gemas. Adiknya ini benar-benar bebal kalau berurusan dengan matematika dan angka.

Angkasa menjitak kepala Anyelir yang sontak membuat gadis itu mendelik kesal ke arah kakak laki-lakinya.

"Ih! Apaan sih!" Anyelir mendorong Angkasa agar pergi menjauhinya.

"Makanya jangan gambar mulu! Ayo kerjain pr-nya! Ntar kamu nggak boleh main dan gambar lagi lho sama Nenek!" ancam Angkasa.

Anyelir semakin mendidih karena ucapan Angkasa yang dirasa menyudutkan satu-satunya hobinya yang membuatnya senang.

"Ih! Jahat! Nenek nggak galak sama aku, kok!" Anyelir tiba-tiba berdiri dan mendorong Angkasa sekaligus menjambak rambutnya.

Pertengkaran saudara kembar tak bisa dihentikan. Mereka bergulat di teras paviliun dan saling berteriak, well... teriakan frustasi Anyelir tentu saja diselingi dengan isak tangis. Tapi karena Angkasa diserang duluan, dia akhirnya membalas sampai akhirnya dia berdiri dan berlari menghindari Anyelir karena tak tahan dijambak serta ditendang oleh adik perempuannya sendiri yang sedang emosi tingkat tinggi.

Sketsa AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang