The One that Got Away

289 22 2
                                    

Anyelir, 18 tahun

"Udah siap, Lir?" Anyelir melirik ke arah suara. Di sampingnya duduk saudara kembarnya yang terlahir tiga menit lebih dahulu dibanding dirinya. Angkasa Niskala Dasono-sang kakak terlihat gugup dan bolak-balik melihat pengumuman boarding di layar papan ruang tunggu maskapai mereka.

Kakinya bergerak menandakan kegugupannya hingga akhirnya Anyelir meletakkan telapak tangannya di lutut cowok itu. Seketika gerakannya berhenti dan kakaknya menghembuskan napas panjangnya.

"Emangnya kamu nggak gugup?" Rasanya percakapan yang diinisiasi oleh Angkasa memang bertujuan untuk mendistraksi Anyelir saja. Mendistraksinya agar air matanya tak lagi tumpah seperti yang kerap kali dia lakukan akhir-akhir ini di balik kamarnya.

"Nggak, kok. Aku malah mau cepat-cepat cabut dari Indonesia," ujarnya lemah.

Angkasa ingin menanggapi ucapannya tersebut, tapi mengurungkan niatnya dan hanya terdiam seraya memperhatikan gerak-geriknya lebih dalam lagi.

"Kamu yakin dengan keputusan ini?" tanya Angkasa dengan nada berhati-hati.

"Kita bisa kabur sekarang dan persetan dengan keluarga Sastrowilogo! Kita bisa mulai lagi dari awal! Aku bahkan siap kerja jadi buruh kek, jadi kuli! Apapun buat kehidupan kita, Lir!" Angkasa membujuknya, namun Anyelir kokoh pada pendiriannya.

"Kalau kabur, pasti mereka juga bakal bisa nemuin kita dengan gampang. Ikutin aja apa yang mereka mau. Setelah kita dapat semuanya baru kita bisa cut off dan move on, Kak." Anyelir berkata demikian meskipun hatinya terasa seperti tersayat.

Daftar boarding dan waktu keberangkatan dinamis berganti, menunjukan perubahan status yang semakin mendekati jam keberangkatan. Begitu pula dengan destinasi mereka. Pengumuman mengenai persiapan boarding penumpang maskapai mereka pun telah mengudara dan para penumpang beranjak dari kursi mereka dan mulai berbaris di depan gerbang.

Saudara kembarnya sekali lagi meremas jemari Anyelir dan menatapnya dengan sungguh-sungguh. Mencoba menakar sampai mana kejujuran dari perkataan Anyelir barusan.

"Nggak apa-apa, kok. Lagipula Kakek Abisena sudah berbaik hati memberikan kita kesempatan langka ini. Kapan lagi gue bisa kuliah seni gratis di luar negeri. Kamu juga bisa sekolah penerbangan privat tanpa pusing mikirin biaya apapun. Nggak semua orang bisa mendapatkan ini semua, 'kan?" Anyelir tersenyum dan menganggukkan kepala sekali lagi.

"Aku tahu tujuan kakek itu memberikan beasiswa kepada kita, Lir," balas sang kakak sambil mendengus penuh kesal.

"Dia ingin memastikan kalau Kelana nggak mencarimu lagi, dan kita akan selalu berada dalam belas kasih kakek tua itu!"

Anyelir tersenyum kaku.

"Kak, kita ini miskin... nggak punya siapa-siapa lagi setelah Nenek pergi-" Anyelir mencoba mengelola napasnya yang kini menjadi tersengal, mengingat nenek yang mereka cintai dan membesarkan keduanya dengan penuh kasih setelah kedua orang tuanya meninggal kini telah menyusul mama dan papa. Mereka meninggalkan Anyelir dan Angkasa selamanya.

"Kamu tahu kan ini tiket emas kita. Aku benci Jakarta, ini satu-satunya cara supaya kita bisa pergi dari sini," tambahnya dengan perasaan yang tak bisa dilukiskan.

Media yang Anyelir gunakan adalah lukisan-dia tak bisa menyampaikan apa yang sedang bergumul di dalam hati dan pikirannya dengan kata-kata yang baik. Makanya dia lebih memilih menekan rasa sakit yang berkutat di dalam hatinya dan menuangkannya kelak dalam media lukis.

Anyelir menganggukkan kepalanya seraya melempar senyum untuk sang kakak. Mencoba meyakinkan kakak cowoknya bahwa biar bagaimanapun mereka kini selangkah lebih dekat dengan cita-cita mereka.

Sketsa AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang