Butterflies in My Stomach

100 10 0
                                        

Anyelir, 13 tahun



Satu hal yang Anyelir pahami dalam dunia melukis.

Melukis secara profesional adalah aktivitas yang begitu mahal.

Dia baru tahu kalau art supplies yang diberikan Kelana cuma-cuma kepadanya sejak dia berumur tujuh tahun adalah art supplies artist grade yang begitu mahal dan jika ditotal bisa bernilai puluhan juta rupiah.

Bahkan ketika Anyelir berulang tahun ketiga belas minggu lalu, Kelana kembali memberikannya hadiah sebuah set kanvas raksasa beserta easel dan sepaket cat minyak dengan jumlah fantastis untuk kebutuhan Anyelir melukis selama satu tahun kedepan, begitu katanya.

"Setiap tahun akan aku kirimkan," ujar Kelana dengan santai.

"Tapi aku nggak mau! Ini tuh terlalu berlebihan!" tolak Anyelir mentah-mentah.

Tapi Kelana tetap bersikap cuek, dan bahkan mengancamnya jika Anyelir menolaknya maka Kelana tak segan-segan untuk membuang art supplies tersebut.

Tentu saja Kelana tahu itu merupakan ancaman yang begitu jahat jika ditujukan kepada Anyelir. Si anak yatim-piatu yang tak akan mampu menopang kegiatan melukisnya tanpa sokongan kuat dari Kelana. Makanya dia yakin jika gadis itu tak akan mampu menolak hadiah yang diberikan Kelana apalagi dengan gertakan menyebalkan seperti itu.

"Nggak masalah, karena aku nggak bisa mengajak kamu ke luar negeri untuk memilih sendiri apa yang kamu mau, jadi ini semua oleh-olehnya. Teman-teman yang lain juga kuberikan hadiah. Jadi jangan sungkan." Kelana menanggapi protesnya dengan santai.

Seperti itulah ucapan Kelana ketika Anyelir protes atas banyaknya hadiah yang diberikan Kelana kepadanya. Sampai akhirnya Anyelir lelah sendiri menolak bantuannya.

Kelana menang sejak saat itu. Dia bebas memberikan produk-produk lukis atau sketsa yang sedang populer di luar negeri dan diberikan langsung kepada Anyelir. Dan sebagai gantinya, Anyelir selalu menyempatkan memberikan hasil karyanya kepada Kelana sebagai bentuk terima kasihnya.

Memorinya tentang pembicaraannya dengan Kakek Abisena satu tahun lalu terkadang masih suka mampir ke dalam ingatan Anyelir ketika otaknya yang tanpa bisa dia setir tiba-tiba memikirkan Kelana.

Akhir-akhir ini dia seringkali memikirkan Kelana. Dan itu bukan tanpa sebab. Kelana kini semakin intens datang ke rumah kakeknya, meskipun sang kakek tidak ada di rumah dan sibuk di kantor.

"Kamu jadi makin sering datang ke sini."

Anyelir mengucapkannya sambil lalu saat dia membersihkan tanaman yang berada di sekitar gazebo sore ini. Dia melirik Kelana yang datang dengan seragam sekolahnya yang terlihat mahal.

Cahaya Ilmu International School.

Itu nama sekolah Kelana. Tentu saja berbeda dengan sekolah Anyelir dan Angkasa yang berada di SMP negeri dekat rumah.

"Hmm." Hanya itu yang Kelana ucapkan.

Dia berdiri di belakang Anyelir dan dengan sabar menunggu Anyelir selesai menyiram tanaman serta menggulung kembali selangnya dan menaruhnya di gudang supply peralatan rumah tangga yang terletak di dekat paviliun tempatnya tinggal.

"Kenapa kamu yang mengerjakan ini? Kan di rumah ini sudah banyak staf," ujar Kelana tiba-tiba di belakangnya.

Anyelir berkacak pinggang, kesal dengan ucapan Kelana.

"Ya, tapi aku cucu dari staf di sini. Kurang ajar sekali kalau aku melihat nenek bekerja banting tulang sedangkan aku diam saja santai-santai tanpa membantu," tukasnya dengan kesal.

Sketsa AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang