Shavella menatap nanar pada pantulan dirinya sendiri di cermin. Memakai gaun seindah ini, dihias secantik ini. Apakah ini akan menjadi pelebur harapannya?
Iya, kalau boleh Shavella jujur, ia masih berharap Aster mendatanginya dari alam kayangan. Untuk menjemputnya kembali kesana. Atau setidaknya mengucapkan 'Maaf Shavella, aku salah sangka padamu' untuk membersihkan namanya disana.
Sekali saja.
Mengingat godaan iblis waktu itu membuat perasaannya tidak karuan. Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi gadis biasa. Tapi Shavella malah merasa takut, banyak hal yang berkecamuk dibenaknya. Calvin memang lelaki yang baik, tapi apa dia bisa menjadi istri yang baik untuk Calvin? Bagaimana kalau ia hanya akan menyusahkan cowok itu kedepannya.
"Shavella, jangan menangis sayang, nanti riasanmu luntur." Oma tiba-tiba ada diambang pintu.
Wanita baya itu mendekat pada calon cucu menantunya, memegang bahu gadis itu, menenangkannya. "Oma tau perasaan kamu, dulu Oma juga hampir nangis waktu akan dinikahi Opa-nya Calvin. Separuh karena terharu, separuh lagi karena takut kalau kedepannya Oma enggak bisa jadi istri yang baik. Itu wajar, tapi kita harus yakin kalau tuhan pasti akan membantu umatnya dalam kesusahan apapun."
"Iya, Oma. Terimakasih sudah menasehatiku. Tapi bukankah lebih mudah untuk menikahi orang yang kita cintai?"
Yah, Shavella keceplosan dikalimat terakhirnya.
Oma tersenyum penuh arti. "Oma tau, kamu sama Calvin tidak saling mencintai, belum. Tapi kalian saling percaya. Dan kepercayaan adalah pondasi yang lebih dari cukup untuk membangun perasaan."
Shavella mendongak, menatap pantulan wajah Oma dicermin. "Jadi Oma sudah tahu aku dan Calvin,"
Oma mengangguk. "Sejak pertama kali Oma melihat kamu, Oma yakin kamu gadis yang baik. Dan dari semua cewek yang Calvin bawa kehadapan Oma, gak tau kenapa hati Oma kepingin kamu yang jadi pendampingi cucu Oma."
Sungguh Shavella tidak bisa berkata-kata lagi.
"Dan Oma berani Jamin, Calvin juga akan menjadi suami yang baik. Kalau dia macam-macam, kamu lapor sama Oma ya, sayang."
Gadis itu tersenyum, Nasihat dari oma barusan membuat perasaannya lebih lega. Seolah beban dalam pikirannya tersingkir semua. Menyisakan harapan baru dimasa depan.
"Eh, calon Kakak ipar gue udah siap."
Shavella dan oma berbarengan menoleh ke arah pintu. Bertepatan dengan itu, Lucanne menangkap gambar mereka dengan kameranya. Hasilnya mulus, tidak blur sama sekali.
"Lucanne, jahil banget sih kamu."
Cowok itu terkekeh jahil. "Hasilnya bagus kok Oma, lihat nih. Jangan pada cemberut gitu dong, yaudah aku ke Calvin deh."
Sesuai permintaan Calvin tempo hari di telpon, Lucanne secara khusus mengosongkan jadwalnya pada hari ini. Dan tanpa dipinta siapapun ia dengan senang hati megajukan diri menjadi fotografer gratisan untuk mengabadikan momen sekali seumur hidup sepupu kesayangannya.
Lucanne melipir dulu ke lantai bawah, hendak menyapa keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga oma.
"Morning Ma, Pa."
Lucanne duduk disebelah mama yang tampak fokus membaca majalah dari brand tas favotirnya. Hanya menjawab seadanya.
"Loh, kamu kapan sampai Jakarta, Lucanne. Kenapa gak pulang?"
"Semalem, Pa. Aku nginep disini. kayaknya semalem bakal jadi terakhir kali aku nginepin kamar Calvin, haha."
"Idih. Seumur-umur gak pernah tuh lo mau tidur sekamar sama gue. Kakak lo tuh si Calvin atau gue sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadarinya Calvin
General FictionNote: Cover ngambil di Pinterest. Jatuh cinta bagi kaum bidadari adalah dosa. Sudah menjadi hukum mutlak bahwa kaum iblis akan selamanya berada di jalan yang salah. Bidadari itu bukan malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi iblis selalu...