Heppy reading!
****
Mulai hari ini kesibukan Calvin berubah, bukan lagi interview sana sini tapi mempersiapkan pernikahannya sendiri.
Calvin sudah siap dengan celana jeans dan kaos putih yang dilapisi kemeja hitam sebagai outer. Sebelum keluar ia sempat menyambar topi dari cantolan belakang pintu.
Pagi ini langit cerah, secerah senyum bidadari yang sudah berdiri didepan pintu kamar Calvin saat ia membuka pintu.
"Pagii!"
Shavella menggulung-gulung telunjuknya di depan dada.
"Lo ngapa? Ceria banget kayaknya." Calvin juga tersenyum, sedikit.
"Hari ini kita kan akan beli gaun pengantin, ayo cepat, Calvin. Aku tidak sabar."
"Ish, dasar ngebet nikah."
Calvin memasukkan tangannya ke saku celana, belaga sok cool. Dia jalan tanpa menunggu Shavella, sambil bersiul.
Rumah oma Calvin ada didalam komplek perumahan, cukup jauh dari jalanan umum. Karena hari ini mereka akan naik kendaraam umum, mau tidak mau mereka harus berjalan lebih dari 200 meter. Wajar saja, rumah di kompel ini besar-besar, dan rumah oma berada hampir di ujung.
Calvin sih sudah biasa, orang tiap hari dia begini. Beda dengan Shavella. Selama ini dia jarang sekali berjalan jauh. Dulu kan ia bisa terbang dengan selendangnya. Sepertinya mulai sekarang ada satu hal yang harus terdaftar di agenda hariannya, membiasakan berjalan kaki.
"Ayo, cepet. Jangan jauh-jauhan jalannya, udah kayak anak SD berantem aja."
Calvin berbalik saat tidak mendengar langkah kaki Shavella di belakangnya. Ia sendiri heran, kenapa selama ini gadis itu lebih suka berjalan dibelakang dari pada disampingnya.
"Aku le-lah sekali, Cal-vin. Bisa ti-dak kita istirahat dulu." Shavella terengah-engah. Ia membungkuk, tangannya bertumpu pada lutut. Seperti habis ikut lomba maraton sejauh satu kilo meter saja.
Calvin berbalik, berlari ke arah Shavella. "Ya elah, baru jalan segini keadaan lo udah memprihatinkan aja, liat tuh," Calvin menunjuk pada pos satpam yang sudah terlihat di depan mata. "Bentar lagi pas kita keluar komplek bakal ketemu warung. Nanti disana kita jajan es cekek."
"Apa itu es cekek?"
"Ah udah, pokoknya seger."
Tanpa menunggu Shavella membalas lagi, Calvin menggenggam jemari gadis itu, menariknya untuk terus berjalan.
Shavella sendiri malah salah fokus dengan perlakuan Calvin. Selama ini ia belum pernah digandeng oleh lawan jenis. Ada desiran aneh yang terbawa oleh darah dari tangan ke hatinya. Apa ini, bukankah terlalu cepat untuk ia jatuh cinta.
Ah mungkin bukan. Ia hanya merasa aneh karena ini pertama kali. Tapi kenapa rasanya nyaman, ya.
"Pagi Mas Calvin. Udah lama gak keliatan bawa map coklat udah dapet kerja ya, Mas? E-eh, siapa itu yang digandeng."
Salah satu dari dua satpam yang berjaga menyapanya. Mereka akrab dengan Calvin sejak lama. Biasanya kalau selesai interview masih siang, Calvin tak jarang ikut nongkrong di pos satpam sambil mengadu nasib bersama, bertemankan kopi dan rokok. Kalau Calvin sih enggak merokok, dia ngunyah permen karet.
Calvin berhenti sejenak untuk mengangkat lima jari ke udara, membalas lambaian tangan dua satpam itu. "Eh Pa Yadi, Pa Budi. Belum, lagi off dulu mau persiapan nikah. Oh ya, ini calon istri saya."
Shavella manggut, tersenyum ramah. Hatinya berbunga-bunga. Ini pertama kalinya juga Calvin mengakuinya sebagai calon istri di depan orang lain.
"Loh, ternyata Mas Calvin mau nikah toh." Pak Budi orang jawa, bicaranya medok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadarinya Calvin
Fiction généraleNote: Cover ngambil di Pinterest. Jatuh cinta bagi kaum bidadari adalah dosa. Sudah menjadi hukum mutlak bahwa kaum iblis akan selamanya berada di jalan yang salah. Bidadari itu bukan malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi iblis selalu...