8

4.2K 404 10
                                    

Sepi.

Padahal ia sudah terbiasa dengan kesepian, tapi kenapa kesepian itu seperti asing lagi baginya.

Beberapa saat yang lalu tempat ini cukup hangat dan berisik karena Jena yang tak berhenti bercerita tentang kehidupan 17 tahunnya, tapi lihat sekarang Jena seprti orang bodoh saja.

Ia duduk di depan televisi sambil menekuk kedua kakinya dan memeluknya.

Kepalanya menoleh ke samping mendapati sebuah ponsel keluaran terbaru yang baru saja di berikan Mikael padanya, mengganti ponsel usang dengan layar retak kepunyaannya.

Di pertemuan mereka setelah 17 tahun Mikael langsung memberikan segala kebutuhan untuknya, seperti Mikael benar-benar sudah merencanakan hal ini jauh-jauh.

Matanya menatap sekeliling, pikiran aneh tiba-tiba datang seperti apakah di apartemen ini ada semacam cctv yang terpasang atau alat sadap suara- aish tidak mungkin Mikael melakukan itu. Lagipula untuk apa?

Ting!

El
Online

Aku merindukan mu Jena
21.36 pm

Senyum terbit di belah bibirnya, setelah membalas pesan Mikael ia pun pergi ke kamar untuk mengistirahatkan tubuhnya. Sebelumnya ia mengganti pakaiannya dengan piyama-

Di dalam kamarnya bahkan ada walk in closet dan Jena sudah tak ingin lagi terkejut dengan pakaian mewah nan mahal berjejer rapih di sana.

Perlahan ia merebahkan dirinya di atas kasur empuk luasnya menarik selimut dan mulai menutup matanya, harapannya esok pagi semoga harinya berjalan lancar.

***

"Tidak!"

Jena menatap Mikael tak percaya, "minggir El aku mau bekerja."

"Ku bilang tidak!"

Helaan nafas panjang keluar dari Jena yang sudah 10 menit berusaha membujuk Mikael untuk membiarkannya keluar untuk bekerja, "aku sudah terlambat El aku tidak mau di pecat lagi."

Mikael menggeram kesal, "kau mengabaikan penolakan ku Jena?"

"El, aku harus bekerja untuk hidup-"

"Sekarang kau punya aku Jena, kau tak perlu lagi bekerja." Mikael meraih tangan Jena, "lihat tangan mu ini... sudah cukup kau tak menghargai diri mu sendiri dengan bekerja keras seperti itu."

Jena menarik tangannya, "aku tidak bisa hidup seperti itu El. Dengan kau memberikan ku tempat tinggal yang layak aku sudah sangat bersyukur, tapi tidak dengan kau yang menanggung biaya hidup ku, tidak!"

Jika Mikael keras kepala Jena juga bisa.

"Baiklah, kau bisa pergi tapi jangan pulang larut malam." Ya akhirnya Mikael menyerah.

Jena tersenyum, "terima kasih banyak El. Kalau begitu aku berangkat dulu sampai jumpa lagi."

Setelah kepergian Jena yang menghilang dari jarak pandangnya ekspresi wajah Mikael berubah, "satu kesalahan Jena."

Sementara itu Jena sampai di tempatnya bekerja namun, "apa?"

"Maaf Jena, aku tak punya pilihan lain selain memecat mu."

"Kenapa pak? Apakah karena saya terlambat?"

Bos cafe itu menggeleng, "tidak bukan itu Jena. Keuangan ku akhir-akhir ini sedang tidak baik seperti yang kau tau bukan cafe sepi semenjak ada cafe baru di seberang sana dan untuk uang pesangon mu akan ku kirimkan nanti."

Jena mengangguk lesu, "maafkan aku Jena," ucap si bos lagi.

"Tidak apa-apa, anda tidak perlu membayar uang pesangon nya. Kalau begitu saya permisi."

Ia pun pergi dengan mendorong sepedanya, 4 tempat di mana ia bekerja part time memecat nya hari ini dengan berbagai alasan.

"Kemana lagi aku harus mencari kerja?" Sulit untuknya yang hanya lulusan SMA mencari pekerjaan, paling tinggi hanya sebatas pegawai cafe atau cleaning service.

Jena ingin menangis rasanya berdiam diri di pinggir trotoar di tengah panas terik matahari, rasanya ingin mengadu pada takdirnya yang tak adil. Kenapa ujiannya tak pernah berhenti baru saja kemarin ia bersyukur sekarang sudah kembali memaki.

"Jena."

Kepala Jena terangkat cukup terkejut melihat Mikael berdiri di sana cepat ia usap kedua matanya yang berair. "El, apakah tempat mu bekerja di sekitar sini?"

Jena mendekat sambil menuntun sepedanya, Mikael menggeleng lalu tangannya mengusap lembut mata merah Jena.

"Kau menangis lagi?"

"Tidak! Aku hanya kelilipan, debu jalanan sangat menganggu penglihatan." Elak Jena.

"Sudah makan?"

Jena menggeleng bagaimana bisa ia makan uang pun tak punya untuk sekedar membeli roti dan air botol.

"Ayo kita makan bersama," Mikael menarik Jena namun Jena menahan tangannya.

"Tidak usah, aku tidak ingin menganggu mu."

"Jena, apa kau lupa?"

Kening Jena berkerut bingung.

"Aku lebih suka Jena yang penurut dibandingkan Jena yang keras kepala."

Entah kenapa Jena merasa merinding mendengarnya, "b-baiklah."

Mikael tersenyum senang, "Scott bawa sepeda milik Jena."

Scott asisten pribadi Mikael yang sedari tadi diam di belakang maju dan mengambil alih sepeda di tangan Jena, Mikael menarik tangan Jena untuk masuk ke dalam mobil.

"Eh? Lalu dia?" Heran Jena melihat Scott yang ditinggal.

"Tidak usah pedulikan yang lain Jena, cukup kau hanya fokus pada ku, jangan tatap dan peduli pada pria lain selain aku, mengerti?" Tangan Mikael mengelus kepala Jena.

Kepala Jena mengangguk pelan meski hatinya berkata ada yang salah dengan Mikael.

***

Jena tak tau lagi bagaimana ia harus bereaksi, perutnya memang meronta meminta di isi apalagi melihat banyaknya makanan di atas meja, berjejer rapih meminta dihabiskan. Tetapi pastinya satu makanan di sini bisa setara dengan setengah gajinya bekerja di cafe.

"Apa ini tidak terlalu banyak El?"

"Tidak," jawabnya sambil tersenyum lebar.

Sedari tadi matanya tak pernah berpaling dari Jena, "Jena?"

"Ya?"

"Apa kau tidak memakai pakaian yang sudah ku siapkan?"

Jena menggeleng pelan, "pakaian seperti itu tak cocok untuk ku El lagipula aku lebih nyaman dengan pakaian yang ku miliki. Ya, meski harganya murah," cicitnya pelan di akhir.

"Habiskan makanan mu, setelah itu ikutlah bersama ku."

"Kemana?"

"Nanti kau juga tau."

Jena mengangguk dan mulai memakan makanannya.

Ternyata Jena di bawa ke sebuah pusat perbelanjaan Mikael dengan wajah memohonnya membujuk Jena agar ikut dengannya, dan Jena yang memang tidak bisa menolak- apa lagi itu Mikael hanya pasrah saat ia di seret ke sebuah salon.

Hanya dengan satu perintah dari Mikael apapun itu langsung terjadi.

Tbc.

Unhealing WoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang